Epilog: Apa Kabar?

20 2 0
                                    

Pagi itu, aku ada janji dengan seorang klien. Kami rapat di kafe, selesai pukul sebelas siang. Masih ada waktu satu jam sebelum makan siang. Ada mall tak jauh dari sini, hanya tinggal berjalan kaki tiga ratus meter dan menyeberang. Cuaca bulan Juni jauh lebih hangat dari bulan berikutnya. Tidak terasa, sudah sampai pertengahan tahun. Rum pasti sebentar lagi akan mengajakku ke pantai atau festival musik.

Lalu-lintas cukup padat, tapi tetap lancar. Berat badanku turun lima kilo dari tahun sebelumnya. Rasanya menakjubkan. Sungguh kabar gembira buatku.

Aku berpapasan dengan banyak orang. Toko-toko pakaian di pinggir jalan mulai menampilkan koleksi musim gugurnya di etalase. Perhatianku teralhikan. Ada mantel yang lumayan bagus. Sangat cocok untuk dipakai ke kantor.
Cahaya matahari sedikit terpantul di kaca jendela. Bayangan orang-orang yang hilir-mudik berseliweran melintasi kaca. Mantel itu, semakin kupandangi, semakin menggoda untuk dibeli. Dan bukan hanya aku yang berhenti untuk mengamati mantel itu. Ada seseorang lagi di belakangku. Aku melirik bayangan orang itu di kaca dan terpaku.
Yang ada di belakangku tingginya hampir dua jengkal di atasku. Pakaiannya semiformal dengan kemeja putih lengan balon dan celana yang sehitam rambutnya. Sepasang matanya fokus menatap jendela.

Aku berbalik. Pemuda itu tampak berkulit lebih gelap dari tahun sebelumnya. Bibirnya, yang selalu merah merekah, menekuk canggung saat berkata, "Apa kabar?"

Aku tak kuasa menjawabnya.

"Kau boleh marah saat aku bilang aku mengikutimu sejak awal rapat." Ia menelan ludah. "Kau terlihat hebat tadi. Aku senang melihatmu bahagia, sekaligus kesal. Kau terlihat lebih bahagia daripada saat bersamaku. Aku hampir saja mau balik saat aku melihatmu mendesah sendirian. Aku harap itu karena kau sedang mengingatku."

Benar, bodoh, aku selalu mengingatmu.

"Kenapa kau baru kembali?"

Pemuda itu menurunkan pandangannya. Bulu matanya naik-turun tanpa henti. "Kami baru saja pulang dari misi yang panjang."

"Apa kau terluka?"

Ia menggeleng. "Aku akan sembuh dengan cepat."

"Kau yakin?"

Ia mengangguk.

"Ada lagi?"

Matanya mengerjap ragu-ragu. "Aku sudah menemui July dan meminta maaf padanya."

Bibirku bergetar, namun tersenyum bangga.

Kini, sepasang iris karamelnya lurus menatapku. "Apa kau masih menginginkanku?"

Mataku buram karena genangan air mata. Bibirku mendengus sebal. "Apa kau amnesia? Kau yang memintaku untuk merindukanmu."

Seperti kupu-kupu yang mekar dari kepompongnya, tulang pipinya naik dan matanya menyipit. Sebelah tangannya menangkup daguku, lalu ia menciumku. Sentuhan yang ringan dan sekelebat, mengingatkanku pada hari pertama kami bertemu, pada hari pertama ia menggenggam tanganku, pada hari pertama ia memelukku. Aku seolah ditarik kembali ke masa-masa itu.
Di bawah cahaya siang, di trotoar ini, kami berpelukan. Tak peduli pada semesta yang memerhatikan dengan muka dengki. Kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan kekasihku ini.
Bisikannya mengalun merdu di telingaku. Sepasang matanya menyerahkan diri padaku.

"Aku mencintaimu"

.
.
.

Pic on header: https://pin.it/6nBKa3R

SemidevilWhere stories live. Discover now