36. Hati Ini juga Milikku

6 1 0
                                    

Terdengar suara ketukan di kusen pintu kaca kolam renang. Aku yang tengah melamun di pinggir kolam menoleh. Arbei Hawthorn berdiri di ambang pintu. Ujung salah satu sepatunya menggaruk lantai. "Kita perlu bicara."

Ia duduk tanpa menunggu jawabanku. Rambutnya yang keriting kecil-kecil kini diikat dengan pita merah muda, senada dengan warna kaos di balik jumpsuit jeans-nya. Mata biru gelapnya terpaku padaku cukup lama. Sesekali ia menghela napas samar sebelum akhirnya berkata, "Apa kau menyukai Ash?"

Aku hanya mengerjap padanya. Arbei langsung menyimpulkan. "Iya." Aku tak menyangkal.

"Apa kau tahu apa yang kau hadapi?"

Hanya ada satu pertanyaan yang keluar dari mulutnya, tapi aku merasa Arbei baru saja mencerocos.

"Maksudmu?"

"Aku dan Ash adalah saudara tiri, kau tahu itu?"

"Ya."

Arbei Hawthorn meluruskan posisi duduknya, bercerita sambil menatap awan-awan. "Aku bertemu Ash ketika aku enam tahun. Dia tujuh. Ash datang bersama ibunya dari Yaman. Mereka tinggal di rumahku dan akhirnya ayahku menikahi ibunya. Setelah dua tahun itu, rasanya keluargaku lengkap. Aku kembali punya ibu, ditambah seorang kakak, tetapi kebahagiaan kami hanya bertahan tiga tahun. Aku kembali kehilangan sosok ibu. Bagi Ash, dia menjadi satu-satunya yang tersisa dari keluarganya. Kami menyebutnya Simpai Keramat."

Aku mengulang dua kata terakhir Arbei dengan tanda tanya.

"Jika Ash mati, keluarga Asheraf juga ikut mati. Ash harus melestarikan keluarganya, tetapi dia malah memilih jalan yang bodoh: menjadi Ultrakit. Dia bisa terbunuh kapan saja, bahkan sebelum dia bisa berkencan. Saat kukatakan itu, dia cuma tertawa."

"Aku dan ayahku tidak bisa menghentikannya. Jadi, aku ke sini untuk menyusulnya. Ayahku memastikan kami satu tim dan aku memastikan dia tetap hidup hingga hari ini."

Jari-jemari Arbei saling beradu memilin. "Entah apa yang ada di pikirannya, tapi dia selalu menempatkan dirinya di posisi 'hampir terbunuh'. Mungkin baginya mati adalah bagian dari rutinitas sehari-hari. Kupikir dia sebentar lagi dia akan minum racun alih-alih kopi, tapi kemudian dia melihatmu."

Arbei berpaling padaku. Wajahnya penuh guratan cemas."Bertemu denganmu adalah momen yang membangkitkan bagi Ash. Awalnya kami tidak mengerti mengapa dia ingin kamu terlibat dalam misi kami. Segala argumennya adalah tentang efisiensi waktu dan performa tim. Kami setuju saja. Dia sangat pandai berargumen, apa kau tahu? Selain sebagai wakil, kami mengangkatnya jadi juru bicara."

Ia mengedik. "Terkadang jadi pengacara."

Senyumnya singkat sekali. Ia meneruskan. "Tidak ada yang salah bekerja denganmu. Kau juga kaum kami. Tapi yang salah adalah Ash terlalu antusias. Ia meriset dirimu sendiri, mengurus izin ke Pusat sendiri, menjemputmu sendiri. Ia bahkan tidak membiarkan kami ikut. Lama-lama aku mengerti, itu karena dia menyukaimu."

"Kupikir dia hanya menganggapku mitra."

Arbei mendengus sinis. "Apa kau bodoh? Jika memang begitu, dia tidak akan datang padamu di luar sesi. Dia tidak akan mau menjadi mentormu, tidak akan menuruti permintaanmu. Dia tidak akan peduli dan tidak akan mencemaskan masalah pribadimu. Tapi itu mustahil, kenapa? Karena dia menyukaimu."

Arbei bernapas berat dan lambat. "Ash jatuh cinta padamu." Aku termangu menatap Arbei. Bibir Arbei terkulum.

"Demi kau," ia menekankan, "Ash berjalan keluar dari dunianya."

"Kau membenciku."

Arbei tergelak kesal. "Bukan. Aku tidak bisa menerimamu." Ia menghela napas lagi. Untuk kesekian kalinya, aku bisa mendengar helaan napasnya. Dan setiap kalinya terdengar makin letih.

"Aku mengamati kalian saling menumbuhkan perasaan. Ash curhat tentangmu padaku. Aku katakan padanya kalian punya perbedaan yang terlalu besar. Kalian hidup di dunia yang berbeda. Kau mungkin juga kaum kami tapi kau dilahirkan di Negeri Luar, tumbuh dan terbiasa dengan cara Luar. Hidupmu jauh dari kehidupan kami. Jika kalian berkencan, bagaimana kalian akan menjalaninya?" tanya Arbei dengan alis diangkat.

"Kau tidak bisa memintanya terus datang di malam minggu. Kau akan mengeluh karena tiket bioskop yang sia-sia tanpa kau tahu hidup Ash sedang terancam. Atau, karena rencana makan malam yang gagal. Kau akan merajuk padanya sementara Ash tidak bisa menceritakan apa yang terjadi. Kalian tidak bisa saling mengerti, lalu kalian akan putus."

Gadis itu berhenti dan kemarahanku mulai memuncak. Dia meramalkan semua yang akan terjadi pada kami seolah ia membaca koran lama. Aku mendongak ketus padanya. "Kenapa kau sangat yakin?"

"Aku bertanya padanya apa rencananya padamu. Dia bilang, dia ingin berakhir denganmu, bisakah kau berakhir dengannya?"

Aku bersiap memprotes Arbei atas segala asumsi tak mendasarnya, tetapi pertanyaan itu menyurutkan pasang yang siap menerjang.

"Ash ingin menjalani hubungan serius, tapi ia masih mempertimbangkanmu. Dia dilema antara logika dan intuisi. Dia ingin memberitahumu tapi dia tidak sanggup, jadi dengarkan aku." Air mata siap tumpah dari pelupuknya.

"Di sebuah pulau dekat Yaman, ada keluarga bangsawan tua bernama Asheraf, yang menguasai sebagian pulau. Keluarga-keluarga kerabatnya menguasai lahan yang lebih kecil. Warisan ini ditentukan oleh leluhur mereka di masa lalu."

"Hampir tiga puluh tahun yang lalu, muncul perselisihan di antara keluarga utama dan keluarga kerabat terkait harta. Keluarga Asheraf menentang ide untuk membagi ulang lahan sehingga keluarga kerabat saling bersekutu. Perang. Asheraf kalah jumlah. Mereka dibantai dan harta mereka dirampas. Hanya Ash dan ibunya yang berhasil selamat. Mereka kabur ke kotaku, meminta perlindungan dari keluargaku, dan berakhirlah kisah mereka di tanah sendiri."

"Saat ibu Ash meninggal, wasiatnya pada Ash adalah 'rebut kembali rumahmu'. Ash sudah berjanji untuk memenuhi wasiat itu."

Kepalaku yang sedari tadi berisi emosi yang semrawutan, kini membayangkan wajah Ash di depan saat ia mengucapkan sumpah itu. Aku pun mulai memproses beban apa yang dibicarakan Arbei. Gadis itu sendiri menarik napas dalam. "Aku dan ayahku punya pola pikir yang berbeda dari Ash. Kami ingin dia membuka lembaran baru. Daripada berambisi merebut haknya di masa lalu, lebih baik membangun hak baru di masa sekarang. Intinya, kami ingin dia hidup hanya sebagai Aden. Tapi Ash bilang padaku dia teringat ibunya dan terus memimpikan hari mereka kabur, jadi kukatakan aku akan mendukungnya."

Punggung Arbei, yang sedari tadi condong padaku, kini ditegakkan. "Bagaimana denganmu? Kau akan mendukungnya?

Aku menatapnya lekat-lekat. "Dengarkan aku."

Arbei mundur sedikit saat aku mencondongkan badan padanya. "Kau tidak punya hak untuk mencampuri urusan kami. Aku tahu kau menyampaikan ini karena kau cemas, tapi itu bukan berarti kau sangat berkuasa untuk meminta kami putus. Itu, murni hak kami."

Dahi Arbei mengerut makin dalam.

"Kau, dengan status sebagai keluarga atau bukan, tidak berhak menentukan kami harus apa, tidak berhak sama sekali memintaku untuk menjauh darinya, jadi kalau kau pikir kisah masa lalu Ash bisa membuatku mundur, kau salah. Aku juga tidak berminat untuk meminta saranmu mengenai hubungan kami. Maaf, tapi misimu ini gagal."

"Apa kau tidak mengerti?" Arbei menatapku antara perasaan ngeri dan marah. Aku mendengus sinis. "Mengerti. Sangat amat mengerti. Tapi usaha memang tidak selalu berbanding lurus dengan hasil, bukan?"

Arbei menyahut tajam. "Kau siap menanggung resikonya?"

Arbei Hawthorn menontonku berdiri dan berjalan meninggalkannya. Aku sudah sangat muak mendengarkan orang-orang berbicara tentang apa yang harus dan tidak boleh aku lakukan. Bahkan perkara cinta, dunia mengatur dengan siapa aku harus jatuh cinta. Persetan. Hidup ini milikku. Hati ini juga milikku.

.
.
.

Pic on header: https://pin.it/6BhQfzl

SemidevilWhere stories live. Discover now