18. Itu Cincinnya

10 5 0
                                    

Aku memulai lagi sesi latihan. Kali ini, Ash memindahkanku ke taman berumput tempat aku menjalani upacara pengikatan. Kali ini, tidak ada suara yang akan mengiringiku. Kata Ash, "Belajarlah untuk berkonsentrasi di suasana paling hening."

Taman sepenuhnya dikelilingi semak berbunga. Tumbuhan rambat menjalari dinding-dinding pembatas. Pohon-pohon buah dan peneduh yang dipotong bonsai mengitari satu ruang terbuka. Ash memintaku duduk di sana, lima meter dari gapura ibadah.

Udara tersedot pelan melalui rongga hidungku. Udara di Santorini cenderung hangat menyengat. Namun di taman ini, paru-paruku diisi oleh udara sejuk, persis seperti yang kuhirup subuh-subuh sewaktu upacara pengikatan.

Markas kosong seperti biasa. Hanya ada Ash dan aku. Ruang-ruang lengang tanpa suara. Bersama ruang-ruang lengang tanpa suara itu, aku bermeditasi selama berjam-jam. Aku merasa kagum dengan diriku sendiri karena berhasil melakukan itu. Kupikir, aku adalah anak yang tidak sedetik pun tidak melamun.

Akan tetapi, di minggu kedua ini, auraku tidak mengalami perubahan. Aku kecewa. Sama rasanya seperti saat kau diet dan mengalami penurunan berat badan di minggu pertama, tapi di minggu kedua berat badanmu stuck. Rasanya tidak ada motivasi untuk melanjutkan diet ke minggu ketiga, bukan?

Ash bilang, "Tidak apa-apa. Jangan memaksakan diri."

Ia pasti cuma menghiburku.

Esok paginya, Ash bilang dia harus pergi dulu. Ia mendatangi kamarku pagi-pagi sekali, sekitar jam lima subuh. Langit masih biru gelap saat aku membuka pintu kamar. Ash berdiri di sana dengan seragam tentara serba hitam. Meskipun begitu, aroma kayu manis dan vanilla menyeruak dari tengkuknya.

"Aku tidak bisa menemanimu hari ini, Will."

Kami berjalan ke aula mini yang menjadi pertemuan ruang santai, dapur dan lorong kamar-kamar. Cahaya dan bayangan dari atap kaca membentuk garis-garis di dinding.

"Justru tidak apa jika aku sendirian di sini?" tanyaku. Aku belum pernah sendirian di sini. Markas juga bukan tempat tinggalku.

Ash berdiri di depanku. Aku mendongak padanya. Meski tidak di bawah cahaya, rantai kalung Ash masih nampak berkilauan. Aku jadi penasaran liontin seperti apa yang ada di ujungnya.

"Abel akan menggantikanku."

Kami diam sejenak saling memandangi. Bibir Ash terbuka seolah ia hendak mengatakan sesuatu, namun ia didahului oleh datangnya sebuah silinder cahaya di samping kami. Perhatian kami teralihkan. Cahaya itu melesat kembali ke dalam bumi, digantikan oleh sosok Abel. Wajahnya kusut dan tertekuk. Sebuah map kulit di dekapan lengan kirinya ditekan hingga melengkung. Ia mendekat, lalu bersungut-sungut menyerahkan map itu pada Ash.

"Mereka tidak akan menang kalau berunding selama itu," protes Abel pada udara kosong. Bibirnya lalu bersumpah serapah. Aku melirik Ash. Pemuda itu mengedik halus seolah berkata, "Biasa."

"Aku pergi," ucap Ash pada Abel, namun sebelah matanya berkedip jahil padaku. Ash yang melangkah ke bawah plafon kaca. Ia menghilang bersama cahaya putih menyilaukan.

"Boleh aku menyusulmu? Ada yang perlu kukerjakan dulu," cetus Abel setelah beberapa dasawarsa kami berdiri canggung. Aku tersenyum padanya, lalu melangkah mundur. "Aku ada di taman kalau kau mencariku."

.
.
.
.
.

Aku telah menghabiskan waktu berjam-jam untuk memunculkan aura yang lebih kuat, tapi tidak berhasil. Tiap kali aku membuka mata, hanya ada lapisan cahaya ungu-biru tipis seperti minggu lalu.

"Ada apa?"

Abel menyapaku. Aku menoleh padanya. Ia telah berganti pakaian dengan sweatshirt biru dongker dan celana training.

SemidevilWhere stories live. Discover now