49 - Giat Belajar

182 44 26
                                    

Belajar lebih giat. Itu yang menjadi prinsip Afi akhir-akhir ini. Dia tidak memedulikan apa pun, selain belajar. Mau tidak mau, paksa. Seberapa kencang rasa malas menerpa pun, dia tidak ambil pusing.

Tiap hari, dia selalu menyediakan waktu untuk mempelajari semua bab tiap buku dari awal. Mencatat dan memahami berulang kali sampai paham di luar kepala. Kamarnya saja ikut berantakan selama seminggu karena belajar.

Dia gencar, ingin membanting omongan Fuad dan Rofira.

Dia harus bisa.

Hari pertama ulangan, Afi datang pagi-pagi ke sekolah, masih belajar di depan ruangan kelas sambil menunggu panitia ulangan datang. Dia tidak mengajak siapa pun berbicara. Begitu bel berdering, dia cepat-cepat masuk, duduk, berdoa dalam hati, dan langsung membuka lembar soal dengan bersemangat. Di ulangan semester ini, seperti janjinya pada semester lalu, dia akan menjawab benar.

Tak akan lagi dia menjawab asal-asalan. Masa bodoh nantinya akan sekelas lagi dengan Gio atau tidak, karena pada kenyataannya yang bisa dia harapkan adalah Tuhan dan dirinya sendiri. Mau segencar apa pun dia merencanakan untuk sekelas dengan Gio, tetapi jika Tuhan tidak mengiakan, lantas dia bisa apa?

Dalam satu jam Afi berhasil mengerjakan soal ulangan bahasa Indonesia. Bukannya langsung mengumpulkan, Afi menggunakan waktu satu jam lagi untuk membaca ulang soal dan mengoreksi jawabannya berulang kali sampai bel istirahat berdering.

Terus begitu selama dua minggu ulangan, Afi selalu mengumpulkan dan keluar paling terakhir dari ruangan.

"Udah kali keberapa lo migrain dalam dua minggu ini Fi?" tanya Pia saat Afi baru saja kembali dari ruang UKS, meminta obat sakit kepala. "Jangan terlalu keras ke diri sendiri. Lo itu udah berlebihan belajar."

Setelah kejadian fatal Rofira tiga minggu yang lalu, baru hari ini Pia mau bergabung lagi dengan Afi. Dia sudah bisa menerima segala tindakan gila Afi yang di luar dugaannya. Bahkan tindakan bolak-balik UKS untuk mencari obat pun dia sudah maklumi.

Dia paham saja jika Afi sibuk belajar mati-matian agar bisa mempertahankan dirinya bersekolah di SMA Darwijaya, turut prihatin.

"Mau gimana lagi Pia," balas Afi sambil menerima uluran segelas air putih dari Binar. "Makasih Binar." Tangannya lincah memasukkan pil ke dalam mulut dan meneguk air putih.

Tami meringis ngeri. "Gue hitung-hitung, ini udah yang keempat kali lo ngeluh migrain, Fi. Di rumah sering migrain juga?"

Sambil meletakkan gelas ke atas meja kantin, Afi mengangguk. "Nggak tahu kalau di rumah udah kali keberapa."

Cici mengerjapkan mata. "Buset, dah. Fi, lo butuh liburan."

"Untung ini udah hari terakhir ulangan," kata Pia. "Lo istirahat dulu Fi, dua hari, sebelum uji mental dengerin pengumuman."

"Gimana kalau gue nggak berhasil ya?" tanya Afi tiba-tiba. "Gue bakal pisah dari kalian dong?"

"EH, JANGAN GITU!" sergah Pia. "Nggak boleh pesimis, nggak boleh! Udah berusaha, tawakal dong."

"Eh iya-iya, tawakal." Afi menegakkan tubuhnya dan menghela napas panjang. "Kalau gue dikeluarin dari sekolah ini, gue mau masuk sekolah negeri aja. Biar Kak Jefri nggak keberatan biayain."

"Lo beruntung banget punya kakak laki kayak Kak Jefri Fi," celetuk Cici.

"Jangan bilang gitu, nanti Afi nangis mendadak lagi," tegur Binar sambil merangkul Afi.

"Cici mau dijodohin sama Kak Jefri, tuh, Fi, biasalah kode." Pia menggoda lalu tertawa terbahak-bahak, sebelum akhirnya mendapat cubitan di pipi. "Eh iya-iya Ci, AAAA!"

GIOFITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang