11 - Di Bawah KKM

217 64 16
                                    

"Gue suka lihat lo senyum, Fi, apalagi ketawa."

= GIOFI =

Ulangan harian pelajaran matematika wajib mendadak diadakan, membuat seisi kelas panik bukan main, termasuk Afi yang semalam hanya belajar sekilas.

Mereka terpaksa menjawab soal apa adanya dengan potensi masing-masing. Gio apalagi, tetap terlihat tenang seperti orang yang semalam sudah belajar satu bab berkali-kali, padahal baru lihat soal pertama saja sudah dia lewati, lanjut ke soal berikutnya.

Afi sendiri kurang paham di beberapa materi, juga tidak terlalu mengingat cara-cara yang diajarkan oleh Pak Mujiarto. Sesekali dia terjebak di beberapa soal, membuat waktu tiba-tiba habis di luar dugaan.

Gio yang tidak memiliki hasrat menyontek Afi sama sekali langsung mengumpulkan saja kertas ulangannya tanpa beban, sementara Afi masih gigih berhitung secepat kilat sampai jawaban terakhir didapatkan seadanya.

Langsung di jam yang sama, Pak Mujiarto menilai seluruh ulangan siswa dan tidak menemukan satu pun nilai siswa di atas KKM atau Kriteria Ketuntasan Minimal. Tertinggi hanya 72, nilai Afi. Satu kelas pun sudah pasrah saja dengan nilai masing-masing, apalagi Gio yang mendapat nilai ulangan 45. Sudahlah, dia letakkan kertas itu di atas kepala untuk dijadikan penutup mata saat tidur di kelas. Boro-boro mau belajar, mencatat materi saja tidak, Gio ketinggalan terus dengan metode belajar secepat kilat Pak Mujiarto.

Baru saja Gio memposisikan diri untuk bersandar dan tidur dengan nyaman di jam istirahat, tidak bangkitnya Afi dari posisi duduk mengalihkan perhatiannya.

"Kenapa nggak ke kantin, Afi?" Gio mengernyit saat melihat wajah panik Afi yang terus-menerus menatap nilai 72 itu.

Cewek itu pun membuka buku paketnya dan mencari-cari kesalahan yang dia perbuat sampai nilainya tidak mencapai KKM ini. Dia membolak-balikkan kertas pada buku catatannya sampai lecak karena tidak menemukan titik terang. Kemudian, tangannya teralihkan meraih pulpen dalam tempat pensil dengan kasar dan mulai mencatat ulang semua materi di dalam buku paket.

Gio kaget melihat sikap Afi yang terkesan berlebihan, meskipun menjadi yang paling tertinggi. Pasti ada yang tidak beres. Mungkin ada suatu cerita di baliknya yang Gio tidak tahu, jadi tak bisa menilai Afi dari sudut pandangnya saja. "Fi, kenapa, Fi?"

Gio menyadari bahwa pandangan satu kelas kini ke arah mereka. Banyak dari siswa yang kontan menghampiri Afi.

"Kenapa Fi?"

"Nggak papa," jawab Afi sambil terus mencatat sampai pulpennya habis dan dia kembali panik mencari pulpen baru. Dia keluarkan semua pulpen yang berada di dalam tempat pensilnya dan mencoret sekilas di atas buku.

Habis.

"Eh, eh, eh." Gio berdiri dan menyuruh semua teman kelasnya bubar dari meja Afi. "Ke kantin sudah kalian, Afi lagi butuh waktu. Dah, dah!" Dia melirik ke Robbi yang masih memperhatikan Afi dalam diam. "Rob, Rob, please."

Robbi pun bangkit dan pergi ke kantin.

Saat kelas kosong, Afi membanting tempat pensilnya dan pulpen-pulpen pun berhamburan. Percuma punya pulpen banyak jika habis isinya.

Gio tidak berani menanyakan apa pun. Dia kontan mengumpulkan saja pulpen-pulpen habis milik Afi dan mencari pulpen miliknya di dalam laci. "Ini, pake aja pulpen gue."

Afi terdiam sebentar melihat benda yang amat dia butuhkan itu. "Lo nggak mau pake?"

"Masih jam istirahat Fi, tenang aja." Gio kembali duduk di kursinya. "Nih, pake aja. Kalaupun habis, entar pinjem sama Hasrul di IPS A."

Tiba-tiba Afi menunjukkan ekspresi hampir menangis, tetapi ditahan-tahan.

"Eh, kenapa?" Gio mendekat. "Kenapa, Fi?"

Afi menggelengkan kepala. "Gue belum bisa cerita." Tangannya terulur meraih buku paket dan mulai mempelajarinya lagi.

"Ya sudah." Gio kembali bersandar pada kusen jendela. "Gue temenin di sini, biar lo nggak terlalu keras ke diri sendiri."

Tangan Afi berhenti menulis dan seketika matanya berkaca-kaca. Namun, dengan cepat cewek itu mengusapnya dan kembali belajar dengan tekun. Lebih tepatnya, memaksa diri untuk terus-menerus belajar karena tenggelam dalam rasa kecewa.

Gio menangkap perasaan takut Afi, kontan meraih ponselnya dan mengetikkan sesuatu di sana dengan cepat. Dia mendongak dan mendekat. "Tenang Fi, tenang, ya? Satu nilai ulangan harian di bawah KKM nggak akan ngebuat hidup lo hancur."

"Gue bukan takut itu, tapi karena ...."

"Apa?"

Orang tua gue bakal marah besar, jelas Afi dalam hati. Rasanya ada sesuatu yang menusuk dada. Entah itu rasa takut, kecewa, kesal, benci, dendam, atau semacamnya. Afi sudah semaksimal mungkin mengendalikannya dan berharap semoga dia tidak kelepasan.

"Gue paham," kata Gio. "Kalau belum mau cerita, nggak papa, nggak usah diceritain dulu, Fi."

Tiba-tiba Hasrul datang dari luar dan masuk ke dalam kelas dengan dua roti dan dua minuman coklat. Dia meletakkannya di atas meja Henry. "Nih, ye, gue taruh di sini." Tangannya mengeluarkan pulpen dari saku. "Gue juga beliin pulpen yang ujungnya lancip, nih."

Gio tersenyum lebar. "Makasih banyak, loh, Rul. Lo kawan baek memang."

"Elah, santei aja. Kalau gue sakit, lo juga bakal gini," balas Hasrul. "Gue balik ke kantin yo!"

"Yoi!" Gio berdiri dan mengambil kantung plastik berisi makanan yang dibeli oleh Hasrul atas perintahnya melalui chat tadi.

"Fi, makan dulu sama minum coklat, biar nggak stres. Oh ya, tadi gue minta tolong Hasrul beliin pulpen favorit lo di warung samping sekolah. Ngomong-ngomong anak itu gerakannya cepet juga ya."

Afi hanya mampu terdiam melihat aksi Gio ini. Kalau ada medali emas mengenai teman sebangku dengan aksi terbaik, maka Afi akan memberikannya ke Gio.

Aksi cowok ini memang selalu tak disangka-sangka dan selalu membantu Afi di kala susah, melebihi teman-temannya di kelas X IPS 1 dulu.

"Tenang aja Fi," kata Gio lagi. "Nanti sepulang sekolah keliling sekolah yok, Fi! Lo udah pernah belom? Dari paniknya lo pas gue panggil hari itu, kayaknya belom, deh."

"Iya, belum pernah."

"Pulangan sekolah nanti gimana? Kalau semisal kakak lo belum jemput, gitu." Gio menyengir saat mendapat tatapan tajam Afi. "Gue nggak ada niat lain-lain sumpah! Cuma mau ngajak lo refreshing sederhana, Fi. Dari hari pertama masuk sekolah masa harus belajar berujung tegang terus? Jalan sekali-sekali buat tenangin diri kayaknya nggak papa."

"Nanti dilihat ya," jawab Afi sambil mempertimbangkan lagi tawaran Gio itu. "Tapi, makasih Gi. Lo ... ternyata emang baik. Baik banget, sampai hal sekecil itu aja lewat di kepala lo."

"Adoh!" Gio tertawa kecil. "Biasa ajaaa kali Fi, malu gue dipuji begitu, ya amponnn!" Cowok itu kontan meraih buku tulis di atas meja dan menjadikannya penutup wajah sembari sesekali mengintip.

Ya Tuhan, Gio kalau sudah menyeletuk memang selalu terlihat menggemaskan. Afi jadi tertawa melihat tingkahnya.

"Nah, gitu dong. Gue suka lihat lo senyum, Fi, apalagi ketawa."

Entah mengapa, tiba-tiba Afi merasa ada suatu gejolak asing dalam dadanya.

= GIOFI =

GIOFIWhere stories live. Discover now