1.2_such a hard time

132 27 5
                                    

Rumah yang biasanya menjadi tempat paling familier dan nyaman, kini menjadi titik yang membuatnya merasakan sesak berkepanjangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rumah yang biasanya menjadi tempat paling familier dan nyaman, kini menjadi titik yang membuatnya merasakan sesak berkepanjangan. Ke mana pun mata di arahkan, di mana pun napas dihela dan diganti dengan udara yang lebih bersih, jejak yang mengimpitnya hanyalah kesesakan. Isy bahkan sudah lelah menangis. Dia tidak dapat merasakan bobot sendiri saking lemasnya, saking habisnya tenaga melepaskan percik-percik lara yang bukannya semakin samar, justru beranjak menjadi kekal.

Tubuh itu berdiri di samping ranjang dengan pandangan kosong, memandangi seisi kamar tempat beristirahat sang ibunda, yang dia harap akan dihuni pemiliknya lagi saat ini. Meski harapan itu selamanya akan menjadi semu.

Satu napas kembali terhela, residunya bergabung dengan udara yang tak menyisakan segar sama sekali. Di ruang yang lebar, dia hanya mengenal kesesakan.

Isy menyesal, kenapa tidak dari dulu dia mengunjungi ruangan ini dengan lebih sering. Dia menyesal, karena sekarang, berada di dalam sana membuatnya ingin kabur saat itu juga, sekaligus ingin meraung di sana selama yang dia bisa. Perasaannya dipenuhi kontradiksi. 

Netra gadis itu berlari pada meja nakas kayu tak lebih dari setengah meter di depannya, kokoh di samping tempat tidur almarhumah bunda.

Buka laci di samping tempat tidur Bunda, Sy. Bunda nyimpen sesuatu buat kamu.

Kenapa saat itu dia langsung mengiakan alih-alih meminta agar bunda saja yang mengambilkannya untuk Isy? Mengapa dia justru buru-buru memberi titah kepada perempuan itu untuk menutup mata, bukannya meminta beliau berjanji untuk datang ke kamarnya keesokan hari? Kenapa ... Isy melepaskan bunda saat beliau memberi isyarat bahwa bisa jadi, tidak ada hari esok yang mereka miliki bersama?

Lagi, air mata turun dari kedua pelupuk. Isakan terasa menyakitkan, termasuk bagi langit-langit kamar yang tidak bisa bergerak menenangkan. 

Sembari menutup mulut, dibawanya langkah kaki mendekat, mengabulkan titah ibunda di malam sebelum kepergiannya. Suara gesekan antarkayu pun terdengar saat Isy menarik laci teratas. Tidak ada clue yang dia punya, bahkan ketika matanya sudah menangkap tumpukan dokumen di dalam sana. Masih dengan air mata yang sesekali turun, diraihnya seluruh isi nakas itu, membawanya ke pangkuan saat tubuh rapuhnya duduk sempurna di atas ranjang.

Satu map besar menjadi titik utama yang menyita atensi Isy. Dia mengusap sudut mata sekilas, mengusir kekaburan yang melekat di pandangan agar bisa memahami benda di tangannya dengan lebih dalam. Namun, baru beberapa kalimat dari berkas teratas yang dia baca, tangan gadis itu sudah bergetar. 

Tangannya semakin cepat membalik kertas, menemui berkas-berkas lain dengan satu kalimat yang selalu ada di sana. Namanya ... ada di mana-mana, mengindikasikan bahwa semua kekayaan yang dipunya sang ibu sudah berada di bawah namanya, sudah menjadi hak milik Isy. Hingga tiba di bagian paling bawah, buku kecil berukuran sekitar tiga belas kali sembilan sentimeter menyapa penglihatan Isy. Sentuhan dia berikan, meninggalkan hal lain yang berada di atas kedua telapak tangan.

Protect At All Costs - Na Jaemin (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang