22_words to believe

219 40 33
                                    

Barangkali ciptaan-Nya lupa, bahwa sifat bukanlah kemutlakan yang dapat digeneralisasi berdasarkan lelaki atau wanita

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Barangkali ciptaan-Nya lupa, bahwa sifat bukanlah kemutlakan yang dapat digeneralisasi berdasarkan lelaki atau wanita.

***

Tidak ada yang lebih menyeramkan dari terpejamnya surya daripada memori yang mengubah hampir seluruh kehidupan Isy. Tenangnya ternyata tak abadi. Hangat yang terserap, secepat kilat digantikan gigil lagi.

Sebenarnya, sejak masih berada di atas motor, perasaan gadis itu sudah kembali tidak stabil. Namun, dia bisa bertahan, meyugesti diri dan mereduksi perasaan negatif dengan membiarkan sebuan angin membawanya pergi. Hingga kini, kekuatan yang dibangun menemui keruntuhan. Kaki yang berpijak di atas lantai teras, terasa lemas. Mesin sepeda motor sudah dimatikan dengan sempurna, tetapi masih ada getar yang dapat dirasa. Bukan dari benda besi itu, melainkan dari bibir Isy.

"Bunda ...."

Dibanding seruan, suara Isy lebih terdengar sebagai rintih. Terlalu lirih, entah seseorang di balik pintu sana dapat mendengarnya atau tidak. Tangannya bergerak memutar knop pintu, tetapi nihil, tidak ada yang terjadi.

"Bunda, tolong." Sekali lagi, bibir pucatnya berujar.

"Bun ...."

Melalui suara yang ketiga, hasil didapatkan. Isy dapat mendengar langkah kaki mendekat, disusul bunyi kunci yang diputar. Sedetik kemudian, sosok yang paling ingin dia temui, dapat dijangkau dengan mata.

"Aduh, Bunda nggak denger. Pintunya sengaja dikun ...."

Isy tidak menunggu kalimat ibunya selesai. Bahkan sebelum pintu terbuka sempurna, dia sudah menghamburkan diri ke dekapan paling nyaman. Katanya, ibu adalah penyedia tempat ternyaman untuk pulang, dan Isy tidak bisa lebih setuju lagi dengan kalimat ini. Tak ada ragu yang tersisa untuk menumpahkan sakitnya. Sejak dulu, hingga waktu yang tidak mengenal tenggat, rasa rengkuhan ini tetap sama. Satu-satunya yang bisa dipercaya.

"Bunda, mereka jahat banget." Belaian di rambut yang tak lagi mengenal kata rapi, dapat Isy rasakan. Raganya di dekap erat, diberi ruang untuk meruntuhkan sekat yang menghalangi bulir air mata dari kebas pipi yang dikecupi dingin. Hingga kini, basah yang ditemui. Air mata menganak sungai. Entah apakah mampu menghanyutkan lara dari hulu ke hilir, hingga menemui muara kesembuhan.

"Sayang ...."

Tak ada sangkal, tak ada pembenaran, apalagi tanya yang akan mengulik luka lebih dalam. Seperti biasa, sang ibu akan setia menenangkan, bahkan sebelum mengetahui keutuhan cerita.

"Isy ... Isy nggak ngelakuin apa pun, Bun. Isy nggak salah, kenapa dijahatin? Bunda, sakit."

Ingatan baru dan yang lebih lampau, bercampur menjadi satu. Isy sampai tidak bisa membedakan, sebab sakitnya terasa sama. Tanya yang sudah lama terpendam, kini kembali menemui permukaannya. "Apa emang Isy yang salah, Bun? Isy yang ... Isy ...."

Protect At All Costs - Na Jaemin (END) Where stories live. Discover now