01_alleged trouble

946 118 361
                                    

Hidupkah kamu, jika senyum tulus nan sayu bahkan didefinisikan penuh oleh masa lalu?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hidupkah kamu, jika senyum tulus nan sayu bahkan didefinisikan penuh oleh masa lalu?

***

Tidak ada yang terlampau berisik sejak tadi, meski Isy sudah berdiam cukup lama di kursi tunggu salah satu dari sekian banyak lorong di gedung dekanat. Maklum, libur semester sudah menjelang. Tidak banyak yang akan dengan suka rela menghabiskan waktu di kampus. Isy pun akan memilih diam di rumah, jika tidak ada masalah pada salah satu mata kuliah di KRS-nya. Oh, juga jika tidak harus menghadiri rapat siang nanti.

Gadis itu menyandarkan punggung, memejamkan matanya dan membiarkan waktu bergulir tanpa harus terisi dengan hal lain. Alasannya berada di sini untuk urusan administratif perkuliahan di saat kata libur sudah tercetak di kalender akademik, adalah untuk cepat-cepat pergi dari bangku perkuliahan, melalui program semester pendek atau semester antara. Dia ingin semua beban SKS-nya segera terpenuhi, lalu bisa menyusun skripsi. Bukan karena Isy tidak suka belajar, masuk kelas, atau terlibat dalam organisasi kemahasiswaan. Akan tetapi, karena dia tahu bahwa ibunya sudah semakin bertambah usia, dan Isy tak ingin perempuan berharganya itu bekerja keras seorang diri lebih lama lagi.

Saraf-saraf rumit di kepala gadis itu bekerja mendalam, menjemput memori yang sudah lama tertinggal di belakang, tetapi tak jarang dari sanalah mimpi buruk datang. Mungkin, jika dia sedikit lebih kuat, ibunya tidak harus memulai karier dari bawah lagi, tidak harus mencari sampingan agar mereka bisa hidup berkecukupan. Kalau saja saat itu Isy sudah bertransformasi menjadi Isy yang sekarang, bisa jadi segalanya menjadi lebih mudah.

Akan tetapi, pikirannya segera dialihkan oleh suara selirih angin yang menyapa. Kelopaknya terbuka, membuat seberkas cahaya jatuh ke retina. Baru saja tubuhnya hendak membungkuk dan mengambil kertas yang terjatuh dari mapnya--sumber suara tadi--satu punggung bidang sudah lebih dulu menghalangi penglihatan. Gerakan Isy terhenti. 

Gadis itu dapat melihat kertasnya yang tengah ditelisik, tetapi tidak sedikit pun memiliki keinginan untuk segera merebut meski merasa keberatan dengan sikap lelaki di depannya. Bukankah lelaki itu tidak berhak membaca berkasnya? Terserahlah, tidak perlu dipikir pusing. Bukankah hidup akan jauh lebih mudah jika tidak terlalu memberikan orang lain pengaruh terhadap diri kita?

"Punya kamu?"

Pada akhirnya, tatapan mata mengintimidasi yang diberikan Isy bisa usai juga, setelah bertahan lama di sana. Entahlah, tampaknya seseorang di depannya ini terlalu bodoh untuk menyadari ketidaksabaran Isy untuk mendapatkan selembar kertas miliknya.

"Iya." Bahkan, seharusnya tidak perlu ada tanya di sana. Bukankah hanya Isy yang duduk di tempat tergeletaknya benda itu? Sungguh basa-basi sekali. Akan tetapi, kala lelaki yang tidak dikenalnya itu--atau mungkin terlalu tidak beruntung untuk diingat seorang Isy--menyerahkan kertas, sang gadis tetap melontarkan balasan verbal. "Thank you."

Protect At All Costs - Na Jaemin (END) Where stories live. Discover now