04. Tania dkk

240 39 7
                                    

Menuruni anak tangga dengan tangan sibuk mengikat rambut yang sudah di kepang. Sentuhan terakhir di anak tangga paling bawah, dia memakai bandana biru muda kesukaannya. Bukan hanya bandana biru muda yang dia suka, namun bandana hitam dan juga polkadot. Tapi, yang sering dia pakai adalah bandana warna biru muda.

"Selamat pagi, non!" Sapaan di pagi hari yang selalu dia dapatkan dari bibi yang bekerja di rumahnya.

Aretha tersenyum, "pagi juga, bi."

"Non di tunggu di ruang makan, ayah sama Abang non sudah menunggu," kata bik Lila memberi tahu dengan sopan. "Bibi udah masak makanan kesukaan non juga, bekalnya sudah bibi siapkan di atas meja."

"Makasih ya bik, kalau gitu aku sarapan dulu," bik Lila mengangguk dan mempersilahkan, pekerjaannya masih banyak, Bik Lila pun melanjutkan pekerjaannya.

"Pagi, ayah, abangggg..." Sapanya dengan memeluk lelaki peruh baya yang menjaganya, menyayanginya dan sekaligus menjadi pengantin ibunya yang telah pergi beberapa tahun yang lalu. Dia, ayah sekaligus ibu untuk anak anaknya.

Pak Jodi mengelus rambut anaknya, "pagi juga sayang, ayo sarapan."

Aretha mengurai lilitannya pada leher pak Jodi dan langsung duduk di samping lelaki paruh baya itu, dia duduk menghadap pada abangnya, "bang, haru ini Are berangkat sendiri aja, naik angkot."

Angkasa, Abang dari Aretha menaikan sebelah alisnya, "emeng gak takut? Udah hapal jalannya?"

"Nggak lah, ngapain takut? Di kompleks ini juga banyak kok yang sekolah kesana, jadi aku bisa bareng. Kalau soal jalan aku udah hapal, dua hari sekolah aku hapalin rute jalannya."

"Terserah kamu aja kalau gitu," kata Angkasa.

Aretha melirik pada ayahnya. Ayahnya itu selalu tidak setuju kalau Aretha pergi sekolah sendiri dan harus ada yang mengantarkan. Kalau tidak dirinya sendiri maka harus Angkasa atau supir rumah.

"Ayah Are bolehkan berangkat sekolah naik angkot?"

"Gak usah macem macem, Abang ada, ayah ada, supir juga ada. Kamu hari ini di antar sama ayah aja, gak ada naik naik angkot atau kendaraan umum!"

Aretha menghela napasnya, sesusah ini kalau dia ingin sekolah atau kemana mana ingin naik kendaraan umum. Ayahnya masih takut, dan punya trauma. Selalu khawatir berlebihan.

"Yah, sekali aja," mohon Aretha dengan memegang tangan pak Jodi. Aretha melirik Angkasa meminta bantuan namun yang di dapatkan hanya gelengan kepala.

"Kalau ayah bilang enggak, ya nggak! Jangan ngebantah! Ini demi kebaikan kamu."

.....

Suara riuh terdengar dari tempat parkiran. Semua murid berbondong-bondong keluar dari kelas ingin melihat apa yang terjadi. Bahkan, guru guru yang tidak sedang mengajar pun keluar dari ruangannya. Murid XII IPS.B menagan ngejolak ingin keluar dan ingin melihat apa yang terjadi. Bahkan pantat mereka sudah gatal. Mengurungkan niatnya saat ditatapi tajam oleh guru ekonomi, pak Harto.

"Mau keluar kalian seperti mereka? Silahkan!" Pak Harto duduk di bangkunya, dia menyatukan sepuluh jari jemarinya membuat sebuah kepalan di atas meja, "yang mau keluar bapak tunggu 5 detik untuk keluar, silahkan tidak ada yang melarang!" Katanya.

Masih belajar, mendengar suara keributan dari luar membuat murid kelas itu berisik dan bertanya tanya satu sama lain pada teman temannya. Bahkan, yang duduk di dekat jendela berdiri untuk melihat. Itulah yang tidak di sukai pak Harto. Sedang belajar berisik dan membuat kegaduhan. "Bapak tidak melarang, namun nilai ulangan kalian Minggu lalu bapak hapus."

"Silahkan!" Semuanya diam menunduk, menggeleng samar samar melirik satu sama lain dengan ekor mata.

"Gung, Lo sebagai ketua kelas ngomong dong!" Andre yang duduk dengan Agung menyenggol lengan sahabatnya itu. Andre emosi dan ingin rasanya menggetok kepala sahabatnya itu kalau tidak ada kak Harto. sebagai ketua kelas harusnya Agung membuka suara, pikir Andre.

kesalahan | Agam [On Going]Where stories live. Discover now