33. Hidup Layak dan Bijak

29 8 3
                                    

Chapter 33: Hidup Layak dan Bijak

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Chapter 33: Hidup Layak dan Bijak.

"Kepulangan bukan hal mengerikan. Untuk beberapa hal, kadang kepulangan perlu dirayakan."

•••


Terlalu cepat.

Terlalu singkat.

Ya, namanya juga hidup.

Mau sebagus apapun orang-orang membuat cerita, mau segila apapun orang-orang pada cinta, semuanya akan selesai. Kisah itu, tidak abadi. Dan kisah ini, dibawa oleh Radit. Entah kemana, entah bagaimana, tapi yang pasti, Radit sudah sampai. Sampai pada tujuan hidupnya.

Rindu kira ia hanya bermimpi. Hanya sebuah fana ilusi. Tapi tidak, ia tidak sedang bermimpi. Buktinya, ia malah terbangun, dari tidur yang tidak sengaja itu. Bahkan sedang duduk di kursi-- meja belajarnya. Setelah menenggak, ia kembali menelungkup kan tangannya-- wajahnya tidak terlihat. Ia memejamkan mata kembali. Beberapa menit. Mencoba menghilangkan segala kegilaan yang mungkin akan menghilangkan kewarasannya.

Rindu bangun kembali. Sudah saatnya ia bangun. Pukul lima sore, cuaca diluar masih saja hujan, karena Desember belum berakhir. Ya, pasti karena itu alasannya. Ia berantakan. Sama seperti hidupnya-- untuk beberapa hari ke depan, Rindu sendiri yang memprediksi kan itu.

Di atas tumpukan meja belajar itu, ada sebuah buku puisi yang pernah ia beli bersama Radit. Ia telah selesai membacanya. Rindu terdiam melihat nama penulis dari buku puisi itu. Namanya, Pra. Nama yang bagus. Membahasa mengenai puisi, ia teringat Radit. Hhh, sedari dulu, ia sering meminta Radit membuatkan puisi, tapi lagi-lagi Radit hanya menolaknya. Katanya, nanti ada saatnya. Saat ketika ia berhasil mencuri otaknya Chairil Anwar. Padahal, mana bisa.

Rindu beranjak keluar. Keluar dari rumahnya menuju rumah Radit. Dari luar tampak sepi. Namun, bendera kuning itu, masih terpajang. Dengan keadaan yang tidak lagi layak untuk sekedar berdiri, mata yang sudah teramat lelah menangis. Rindu mencoba sampai pada rumah itu. Rumah keduanya.

Rindu masuk tanpa permisi. Pintunya tidak dikunci. Bunda Ira menghampiri Rindu. "Rindu..." lirihnya kemudian memeluk Rindu, erat.

"Bunda, aku merasa Radit disini. Berdiri dua langkah dari kita, menyaksikan kita." kata Rindu dalam pelukan hangat itu.

"Ya, Radit selalu disini. Dia memang tidak akan pernah pergi jauh."

Pelukan itu, terurai. "Kapan kita harus benar-benar melepasnya, Bunda?"

"Mulai dari sekarang Rindu."

"Kenapa? Kenapa Bunda begitu lapang. Radit terlalu berharga. Aku gak bisa begitu aja melepaskannya. Masih ada begitu banyak hal yang tidak aku mengerti." air mata itu, akhirnya kembali.

"Rindu, ini memang masih teramat berat. Kini, Bunda sendirian. Benar-benar sendirian. Radit jahat, karena pergi tanpa mengajak Bunda. Bunda dibiarkan sendiri, padahal dia berjanji tidak akan pergi tanpa Bunda." Ira berucap sambil bergetar, nafasnya kembali tercekat. Kemudian menghela nafas lelah.

Rindu: Puisi Praditya Dylan [END]Where stories live. Discover now