G -19

28 7 0
                                    

"Kenapa harus gue?"

—Salwa

♡♡♡

"Udahah Sal, tutup telinga aja kalo mereka ngomong."

Salwa menggigit bibir bawahnya sambil tersenyum penuh tekanan saat mendengar ucapan Nabilah barusan. Gerak-geriknya terlihat sangat tak nyaman saat teman sekelas mereka melirik Salwa sebelum keluar dari kelas untuk pulang.

Mungkin sahabatnya benar, menutup telinga saat mendengar orang lain berbicara tentang kita itu salah satu cara agar kita tidak terlalu terbebani. Tapi melakukan semua itu tidak mudah, serapat apapun telinga ditutup, cibiran orang akan tetap terdengar.

"Bener kata si Bibil. Tangan lo cuma dua, dan lo nggak bisa nutup mulut mereka yang banyam itu, lo cuma bisa tutup telinga pake kedua tangan lo," imbuh Aeni.

Semua orang tau itu. Tapi kembali lagi, semua itu tidak mudah untuk dilakukan. Apalagi notabenenya Salwa pernah mengalami kejadian kurang mengenakan saat hubungannya berakhir dengan Raka dan membuat laki-laki itu kehilangan nyawa.

"Ada hal lain yang gue pikirin," ungkap Salwa membuat kedua sahabatnya langsung memfokuskan diri pada Salwa.

Meja Salwa dengan buku berserakan di atasnya langsung mereka rapihkan karena pelajaran juga sudah selesai. Nabilah duduk di atas meja menghadap ke arah Salwa sedangkan Aeni duduk di kursi samping Salwa.

"Gue takut orang-orang ngungkit lagi soal gue mutusin Raka sampe akhirnya Raka bisa meninggal."

"Itu udah takdir Tuhan Sal," geram Nabilah.

"Tapi lo tau kan kalo dia itu meninggal gara-gara penyakit jantungnya kumat pas abis gue putusin?"

"Raka sakit jantung?" Aeni sedikit heboh karena ia tidak terlalu tahu tentang Raka.

Salwa dan Nabilah mengangguk.

"Gue mutusin Raka karena gue udah bener-bener nggak bisa sama dia. Gue sama Raka beda kiblat. Tapi gue nggak akan mutusin dia kalo tau akhirnya dia bakal pergi beneran dari hidup gue," curhat Salwa membuat Aeni sedikit melongo.

"Udah jangan bahas itu Sal, nanti yang ada lo makin ngerasa bersalah," kata Nabilah dengan tangan terulur untuk mengusap pundak Salwa.

"Permisi!"

Seseorang mengetuk pintu kelas mereka dari luar.

"Maaf, izin bawa ka Aeni pulang," ujar Irfan yang menyembulkan kepalanya di pintu kelas.

Aeni membereskan bukunya lalu menggendong tas berwarna hitam miliknya. "Gue pamit duluan ya," pamitnya lalu memeluk Salwa dan Nabilah bergantian.

Setelah Aeni keluar dari kelas. Nabilah menatap Salwa yang masih terlihat cemas.

"Mending kita pulang yuk, gue yakin bentar lagi juga ayah lo pasti jemput," ajak Nabilah. Ia tak mau melihat sahabatnya terus murung seperti itu.

Siapa yang nolak, siapa yang keliatan galau?

Salwa mengangguk, ia merapihkan barangnya ke dalam tas lalu menggendong tasnya diikuti Nabilah.

"Gue tanya, tapi lo harus jawab jujur pertanyaan gue."

Nabilah kembali memulai percakapan saat mereka sudah berjalan di koridor lantai satu.

"Sebenernya lo suka nggak sama Sandi?" lanjug Nabilah yang membuat Salwa bungkam.

Keterdiaman Salwa menurut Nabilah sudah bisa menjadi jawaban untuknya.

"Kenapa lo se gengsi itu sampe nggak mau nerima Sandi?"

Gengsi {completed}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang