16. Bukan Keluarga Bahagia

Beginne am Anfang
                                    

Max kembali beranjak dari tidurnya. Tubuhnya terasa lemas sekarang. Entahlah, mungkin efek belum makan sejak tadi siang.

Setelah membuka pintu kamar, mata Max dibuat melotot terkejut mendapati seorang laki-laki yang tak pernah ia harapkan kehadirannya.

“Abang,” ucapnya dengan nada bergetar.

Rahang Max mengeras disertai dengan cengkeraman di daun pintu yang semakin mengencang. Urat-urat di leher dan juga tangannya menonjol

“Pergi!” desis Max penuh peringatan.

“Abang, Matt minta maaf.”

Max tertawa sumbang. “Maaf? Setelah apa yang Lo perbuat? Memangnya maaf Lo bisa mengembalikan Mama?”

Matthew menggeleng. Tatapan mata remaja yang berusia 13 tahun tersebut nanar. Tubuhnya bergetar karena takut dengan tatapan Max yang menghunus tajam.

“Pergi sekarang juga!” seru Max penuh penekanan.

“Sampai kapan kamu akan terus menyimpan dendam seperti ini?”

Max dan Matthew kompak memusatkan perhatian pada kakek Anggara yang berjalan dengan penuh keangkuhan. Meskipun usianya tak lagi muda, namun Anggara masih terlihat sehat. Hanya rambutnya yang hampir semua memutih.

“Sampai mereka benar-benar pergi dari kehidupan Max. Selamanya,” jawabnya lantang.

Anggara mendengus. Sedangkan Matthew, laki-laki itu menundukkan kepalanya dalam-dalam. Kedua tangannya mengepal di samping badan untuk memperkuat diri agar tidak menangis di hadapan Max.

“Sungguh itu semua hanya masa lalu, Mamamu juga sudah tenang di surga. Jangan membuatnya sedih karena melihat keluarganya yang hancur berantakan setelah kepergiannya.”

“Lalu? Max harus berdamai dengan pelaku pembunuhan Mama?”

“PAPA DAN ADIKMU BUKAN PEMBUNUH, SIALAN,” teriak Anggara murka.

Max nampak terkejut, namun sebisa mungkin ia mengendalikan wajahnya agar tetap datar tak merasa ketakutan sedikitpun.

“Oh ya? Lalu, disebut apa orang yang membuat Mama meninggal?”

“Takdir! Mamamu meninggal karena takdir. Jangan pernah menyalahkan siapapun!”

Max berdecak dalam hati. “Max akan pergi seandainya dia masih di sini.”

“Go on and I'll make sure your girl isn't okay.”

“JANGAN PERNAH MENYENTUHNYA!” teriak Max penuh amarah. Ia menyorot tajam kakeknya penuh keberanian. Tak ada ketakutan sedikitpun dengan kakeknya.

Anggara tersenyum sinis. “Tetap di sini dan gadismu tetap selamat.”

“Fine. But get him out of here.”

“No. You and him will stay here."

"What? Are you kidding me?”

“Ikuti saja kemauan kakek dan semuanya akan baik-baik saja.”

Max berbalik. Menutup pintu kamarnya dengan kencang hingga menimbulkan suara yang keras.

Meninggalkan Anggara dan Matthew sendirian di depan pintu kamar Max.

“Kakek, apa semua akan baik-baik saja? Apa perlu Matt pergi?”

Anggara menggeleng. “Tetaplah di sini.”

[Hello Max]

Di dalam kamarnya, Max menghancurkan seluruh isi kamarnya. Mulai dari kaca, kursi, bahkan meja sudah tidak terbentuk sama sekali.

Ia marah. Marah pada keadaan yang kembali membuatnya satu tempat dengan adiknya. Awalnya, ia senang saat mengetahui jika Papanya sudah pergi. Itu artinya, ia bisa bebas. Namun ternyata Papanya tersebut tak membawa Matthew pergi bersama.

Prang

Max memukul kaca dengan tangan kosong. Ia tak merasakan sakit sedikitpun. Bahkan saat telapak tangannya mulai mengeluarkan darah segar. Ia tak peduli. Yang terpenting ia bisa meluapkan amarahnya.

Nafas Max masih memburu. Ia jatuh terduduk di lantai dengan naas. Keadaan kamarnya benar-benar berantakan. Tetesan demi tetesan darah mengenai lantai kamarnya.

Berdamai dengan masa lalu?
Lagi-lagi kalimat itu membuatnya muak. Nyatanya, ia sudah berusaha untuk berdamai dengan masa lalu. Namun, sulit. Ia tak bisa melupakan kejadian di masa lalu. Bahkan kejadian itu terus menghantuinya sampai sekarang. Meskipun kejadiannya sudah lama.

ARGH!”

Max berteriak penuh amarah. Tangannya terangkat untuk menjambak rambutnya yang sudah cukup panjang. Penampilannya kini sudah mirip seperti orang gila.

Dengan tertatih, Max membuka jendela yang menghubungkan dengan balkon kamarnya. Ia melihat ke bawah. Cukup tinggi, tapi ia yakin bisa melompat dari balkon kamarnya menuju bawah.

Dan benar, dengan sekali lompatan, Max berhasil mendarat dengan sempurna. Meskipun hampir tersungkur, namun ia masih bisa menyeimbangkan tubuhnya.

Ia berjalan menuju garasi, mengambil mengeluarkan motornya dari sana dengan hati-hati. Tangannya yang terus mengeluarkan darah tak ia pedulikan. Meskipun rasa perih sudah ia rasakan.

Max mengendarai motornya keluar dari rumah. Menuju suatu tempat yang menurutnya tempat terbaik saat ia sedang tak baik-baik saja seperti ini.

*•.¸♡ To Be Continue♡¸.•*'

Q : kira-kira dimana tempat yang Max kunjungi saat lagi down?

Penjelasan tentang Max dan keluarganya nanti ya...sedikit demi sedikit bakal aku jelasin....

Maafkan aku yang telat update😓Senin udah mulai masuk sekolah. Dan kemungkinan aku juga bakal lama lagi updatenya. Karena sekolahku mulai menerapkan full day lagi, pulangnya pasti sore dan aku udah di kelas akhir. Jadi kemungkinan bakal sibuk. Tapi aku bakal usahakan untuk tetap melanjutkan cerita ini sampai tamat. Meskipun updatenya gak tentu.

Tolong banget share cerita Max ke teman-teman kalian. Kalau mau promosi lewat tik tok, jangan lupa beri #Hellomaxwattpad

See you next part 👋🏻👋🏻

Hello MaxWo Geschichten leben. Entdecke jetzt