Part 25

2.2K 139 4
                                    

"Jam segini kok udah siap aja Den?"

Fajri menoleh, mendapati Bi Astri di sana. "Sengaja Bi, mau berangkat awal. " Laki-laki itu terlihat membenahi tasnya, kemudian memutuskan untuk mengaitkan tangannya hanya sebelah di tasnya, karena punggungnya yang masih terasa sakit.

"Punggungnya gimana Den? Masih sakit?" Wanita paruh baya itu terlihat menatap ke arah laki-laki itu. "Em, Bibi minta maaf ya Den, Bibi nggak bisa buat apa-apa tadi malam. Den Fajri jadi gini deh. " Ia menghela nafas pelan.

Fajri menautkan senyuman, seraya menggelengkan kepalanya. "Nggak usah minta maaf, Bibi nggak salah. " Ia membalas. "Malah yang salah saya sendiri, ini punggungnya udah mendingan juga. "

Wanita itu terlihat menghela nafas pelan, lihatlah Fajri, laki-laki itu selalu saja terlihat baik-baik saja, padahal ia yakin malah sebaliknya. "Den Fajri nggak usah kerja lagi ya, nanti ketahuan tuan lagi. Bibi nggak Den Fajri malah dihukum lagi. "

Fajri terdiam sesaat, jujur ... ia masih menginginkan pekerjaan itu. Bahkan sangat ingin adanya, apalagi ia memerlukan uang tambahan untuk keperluannya sendiri, obat dan semacamnya. "Lihat nantinya aja gimana Bi. " Ia membalas, seketika mengubah raut wajahnya. "Yaudah Bi, saya berangkat ya. "

"Eh, Den Fajri nggak sarapan dulu?"

Laki-laki itu menggelengkan kepalanya. "Nggak usah Bi, saya sarapan di kantin sekolah aja. "

"Beneran? Makan disini aja atuh. "

Fajri menggelengkan kepalanya. "Saya mau ngindarin Papah dulu Bi. " Ia membalas menatap ke arah Bi Astri di sana. "Kalau saya makan, keburu Papah turun. " Ia sedikit terkekeh, inilah alasannya mengapa berangkat pagi, menghindari untuk bertemu Raditya. Entahlah ia enggan, setelah kejadian yang menimpanya tadi malam.

Wanita itu terlihat menghela nafas, ia harus memaklumi hal ini. Lagipula, beginilah Fajri adanya, laki-laki itu akan memilih menjauh jika terjebak dalam fase seperti ini. "Yaudah atuh, hati-hati ya. "

Fajri menganggukkan kepalanya. "Iya Bi, assalamu'alaikum. "

"Wa'alaikum salam. " Bi Astri membalas, menatap ke arah Fajri yang menjauh menghilang dari balik pintu dapur. Ya, Fajri kadang lewat pintu dapur saja jika ingin menghindari entah itu apa, ya contohnya seperti ini, untuk menghindari Raditya.

Ia kemudian menghela nafas dalam, sejak saat itu ia tentu tau bagaimana perlakuan majikannya itu berubah seratus delapan puluh derajat adanya. Dulunya harmonis, ia kini sudah jauh dari kata itu untuk Fajri. Ia saja merindukan suasana saat keluarga majikannya itu lengkap, apalagi tuan mudanya itu yang merasakannya. Fajri sudah pasti lebih merindukannya darinya.

"Bibi nggak tau lagi, harus berbuat apa Den. " Wanita itu membatin dengan helaan nafasnya. "Den Fajri selalu dapat perlakuan nggak baik, tapi Bibi selalu nggak bisa buat apa-apa. "

Tidak lama setelah itu, seseorang terlihat tiba dari arah sana. Dia ada Gilang, ya... laki-laki terlihat baru saja selesai mandi, terbukti dengan rambutnya yang masih basah, dan handuk yang masih bertengger di lehernya.

"Bibi kenapa?" Laki-laki itu merasa aneh dengan Bi Astri yang terlihat menatap ke arahnya.

"Ah nggak papa Den. " Bi Astri terlihat mengalihkan pandangannya, dengan terkekeh pelan. "Tadi Bibi melamun aja. "

Gilang menganggukkan kepalanya, seraya menghampiri ke arah dapur, dan mengambil sebotol air minum di sana.

"Oh iya Den. "

Gilang menoleh, kemudian membalas, "Kenapa Bi?"

Wanita itu terlihat terdiam sesaat, dan sedikit menyibukkan diri membenahi dapur. "Jujur, Bibi adem banget liat Den Gilang sama Den Fajri akur tadi malem. "

Berteduh [END]Where stories live. Discover now