"Karena itu masa lalunya, Papa tidak berhak menghakimi atau menyalahkan Karmila atas itu. Lagi pula Karmila bertanggung jawab atas apa yang menjadi pilihannya, bagi Papa itu sudah cukup." jawabnya tak acuh.

Semua perkataan Daniel benar, Karmila mungkin bersalah, tapi dirinya menebus itu dengan konsisten atas pilihannya, membesarkan Damar sepenuh hatinya. Bahkan jika Damar tak sengaja mendengar pertengkaran diantara keduanya pasti Damar tidak akan percaya jika dirinya bukanlah anak kandung dari Karmila.

Tapi tetap saja rasanya ini sulit untuk Damar, meski Karmila menyayanginya namun kenyataan jika diantara mereka tak ada ikatan darah membuat hati Damar sedikit gundah.

Damar memejam sesaat, kala pundaknya mendapat elusan lembut. "Karmila pasti punya alasan kenapa dia melakukan ini semua. Jangan membencinya, meski dia bukan ibu kandungmu tapi jangan melupakan fakta jika Karmilalah yang membesarkanmu."

Hembusan nafas kasar terlontar, bukan itu yang menjadi beban dipikiran Damar. Untuk kenyataannya dengan Karmila, Damar tak terlalu memikirkan. Damar lebih khawatir bagaimana jika Daniel ada niatan terselubung membongkar semuanya ini untuk mengalihkan Karmila menjadi tanggung jawab Damar. Demi Tuhan Damar tidak mau dibebani Karmila untuk kedepannya.

Meski Damar menyayangi Karmila, tapi jika harus menanggung Karmila yang tidak punya apa-apa Damar tidak mau. Hanya orang bodoh yang mau menanggung beban merawat orang tua tanpa harta.

"Tentang tawaran Papa waktu itu Papa minta kamu mempertimbangkannya lagi."

Damar terkekeh miris, "Ternyata Papa sudah lama merencanakan menyingkirkan Damar."

"Papa bukan menyingkirkan kamu," lirihnya. "Papa hanya ingin memberikan yang terbaik untuk kamu."

"Terbaik? Menurut Papa menjadi penggembala itu terbaik untuk Damar?"

"Dam, menjadi peternak tidak ada salahnya. Kamu ahli dibidang itu, tanganmu terampil jika berkaitan dengan binatang. Mereka pasti gemuk-gemuk dan berkembang di tangan kamu. Lagi pula kamu tidak perlu menyentuhnya dengan tanganmu, kamu hanya perlu mengawasi."

Tangan Damar terkepal, dirinya merasa tersinggung dengan ucapan Daniel. Meski Daniel sudah mengiming-imingi jika luas peternakannya berhektar-hektar dan sudah terisi kambing, domba dan sapi tetap saja rasanya Damar tidak sudi. Harga dirinya serasa dilucuti. Manusia tampan, rupawan sepertinya lebih cocok bekerja di kantor, berpenampilan rapi daripada bergelut dengan hewan dan kotorannya yang menjijikkan.

"Nggak, Pa! Damar nggak mau!"

"Keuntungan yang akan kamu dapatkan akan berkali-kali lipat dari gaji yang sekarang kamu dapatkan."

"Damar tidak peduli!" bantahnya. "Lagipula semuanya terjadi karena Papa! Coba saja Papa waktu itu setuju menyuntikkan dana untuk perusahaan yang Damar pimpin, pasti perusahaan itu tidak diakusisi orang lain!"

Daniel menatap Damar dengan sengit, emosinya benar-benar terpancing sekarang. "Kamu yang tidak pecus mengurus perusahaan, tapi kamu malah menyalahkan Papa?"

"Damar bukan menyalahkan, Damar hanya menyayangkan sikap Papa! Apa susahnya merelakan sedikit harta Papa yang menggunung itu!" ucapnya dengan nada meninggi. "Kalau saja Papa melakukannya Damar tidak perlu bekerja sebagai pegawai rendahan seperti sekarang."

"Kalau kamu terus mengandalkan Papa bagaimana kamu menghadapi dunia nantinya? Papa tidak akan terus hidup! Kalau Papa kamu ini mati, apa kamu akan menyusul Papa hanya untuk meminta bantuan!" Nada Daniel mulai meninggi.

"Ingatlah jika fitrahnya Laki-laki harus bisa berpijak dengan kakinya sendiri tanpa topangan orang lain!"

Sialan! Perkataan dan ekspresi Daniel membuat hati Damar tersentil. Tapi bukan Damar namanya kalau hanya diam saat harga dirinya diinjak-injak!

Sejumput Dendam RanaWhere stories live. Discover now