34 | teletubbies kala badai datang

17.7K 2.6K 793
                                    

Peraturan lapak Fulv:

•Vote sebelum membaca
•Tinggalkan komen yang banyak
•Follow akun author buat yg blm follow
•Jangan lupa vote part lain juga yaa

Siap baca part ini? Komen dulu yok di sini💖

Note: mohon koreksi ya kalau ada typo/kalimat rancu. makaciii!

***

"Nggak dihabisin makanannya?" tanya Dikta kala Iren mendorong piring yang masih menyisakan setengah nasi.

Iren menggeleng setelah berhasil meneguk air putih.

"Emang udah kenyang?"

"Udah." Iren menggumam kecil.

"Oke." Dikta lanjut menghabiskan makanannya sebelum membicarakan sesuatu kepada Iren. Saat makanan di piringnya sudah kosong, Dikta berdehem menatap istrinya.

"Maaf, aku ninggalin kamu semalam."

Perlahan, Iren yang sedang berpangku dagu menoleh, matanya tak bisa berbohong, binar itu sungguh redup, dan itu membuat Dikta ikut sakit. Bagian bawah kelopak mata Iren cukup bengkak dan menghitam. Dikta menggeser kursinya lebih dekat dengansang istri, tangannya meraih punggung tangan Iren, mengelusnya perlahan, walau Dikta yakin itu tidak cukup bisa membuat Iren tenang.

Dikta tak bisa diam saja atas situasi yang menimpa istrinya. Dari lubuk hatinya yang paling dalam, Dikta tidak rela pelaku penyebar video itu hidup dengan tenang sementara istrinya harus dihantui ketakutan sepanjang waktu.

"Kita lapor ke polisi, ya, Ren?"

"Jangan."

Elusan Dikta pada tangan Iren terhenti. "Kenapa? Pelaku yang nyebarin video kemarin harus diusut tuntas, nggak bisa kita biarin gitu aja."

Tentu saja selain marah setengah mati, Dikta juga penasaran dengan dua hal ini; tentang siapa yang menyebarkan video tersebut dan mengapa orang itu menyebarkannya. Dugaan terbesar Dikta adalah Dewa, tetapi bukankah perlu ditelusuri lebih lanjut kebenarannya?

Iren tertunduk dalam.

"Aku ... malu."

Dikta segera menarik Iren ke pelukannya. "Aku paham, Sayang," katanya sambil mengelus bahu istrinya. "Tapi kita perlu ambil tindakan cepat. Kita nggak bisa biarin manusia biadab itu berkeliaran bebas, setidaknya biar dia jera."

"Nggak perlu." Iren menggeleng dalam pelukan Dikta. "Biarin semuanya reda dengan sendirinya. Seiring waktu berlalu, aku harap orang-orang akan lupa aku pernah punya video menjijikkan kayak gitu."

Dikta melepas pelukannya, ia menatap Iren secara intens. "Nggak bisa gitu, Ren. Setiap orang punya masa lalu, dan kamu pun nggak tahu kenapa video itu bisa ada. Jadi dua hal yang perlu kita laporkan; si penyebar video dan Dewa yang jelas-jelas ngerekam diam-diam. Aku udah kontak pengacara semalam, jam sebelas nanti aku mau temuin beliau."

"Aku takut, Dikta." Iren balas menatap suaminya. "Andai bisa, aku pengin amnesia aja biar nggak perlu lagi kepikiran soal video itu."

Iren tidak pernah siap dengan hari ini. Pandangan orang-orang terhadapnya sudah berubah, bukan lagi Iren yang cantik, kaya, punya keluarga utuh, punya suami tampan dan anak yang lucu, tetapi orang-orang akan mulai mengenalnya sebgai Iren yang ada dalam video panas, Iren yang berselingkuh, Iren istri yang tidak tahu diri, Iren yang mempermalukan keluarga, dan masih banyak lagi hinaan di kepalanya untuk dirinya sendiri.

"Aku tahu, kejadian ini pasti berat banget buat kamu." Kedua tangan Dikta memegang bahu istrinya. "Aku bakal temenin kamu, Ren. Kita hadapi sama-sama, ya? Buat laporan ke pihak berwajib mungkin bakal menarik banyak atensi publik, tapi bukannya memang itu yang perlu kita lakukan? Mereka harus tahu kalau kamu nggak salah, terutama keluarga besar kita. Soalnya, semakin kita diamkan, opini orang-orang terhadap video itu bakal semakin nggak jelas, kamu yang dirugikan, Sayang."

Berpisah Itu Mudah (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang