8 | sepanjang tangisan

19.2K 1.7K 185
                                    

Peraturan lapak Fulv:

•Tekan vote sebelum membaca✅
•Wajib komen yang banyak✅

Terima kasih & halpy reading bestiiiiee!

***

"Ren, kenapa? Kok lo nangis?" Sepanjang perjalanan, Joy tak berhenti bertanya. "Dikta jahatin lo ya?"

Iren menggeleng sambil menghapus air mata yang mengalir di pipinya.

"Ih, terus kenapa?" Joy sangat penasaran, dia menggantikan Iren menyetir kembali ke kantor karena melihat tangis Iren yang agaknya tidak akan berhenti dalam beberapa menit saja. "Ren, jawab."

"Dikta ngomong sesuatu yang cukup sensitif gue dengar."

"Dikta ngomong apa?"

Iren tak kunjung menjawab.

"Kalau lo belum siap cerita nggak apa-apa kok, gue paham."

Terakhir kali Joy melihat Iren menangis seperti ini ketika sahabatnya itu masih mengandung Una di perut. Joy jadi satu-satunya saksi hidup yang tahu betapa berat hari-hari Iren kala itu.

"Ngomongin soal cerai. Dikta bilang alasan dia nunda perceraian kami karena Una."

Joy tak mengerti. "Karena Una? Maksudnya gimana?"

"Dikta pengin kami ngerayain birthday Una dulu sebelum pisah."

"Terus lo setuju sama ide Dikta?"

"Nggak tahu, gue bingung." Bahu Iren merosot lemah membayangkan semua yang akan terjadi. Seperti ingin berpisah tetapi sebagian hatinya masih belum siap.

"Coba dipikirin matang-matang sebelum ambil keputusan. Soalnya, Ren, namanya perceraian ya pasti anaklah yang jadi korbannya."

"Menurut lo gue harus gimana?" Iren coba meminta saran Joy karena saking bingungnya.

"Kata gue mending bayangin dulu aja risiko apa yang bakal lo hadapi setelah pisah sama Dikta, terutama Una, bayangin lo ada di posisi anak lo, mami papanya cerai dan ortu sama-sama udah punya pasangan, posisi itu bisa ngancurin mental seorang anak, Ren. Jelas setelah Una gede dia bakal nanya, kok mami gue ada dua? Papa gue juga kok ada dua? Pasti Una bingung."

Air mata Iren semakin meronta ingin keluar. Sebenarnya Iren sudah memikirkan itu semua dari jauh-jauh hari sebelumnya. Namun, salahkah bila Iren egois sedikit saja? Iren merasa bercerai lebih baik daripada harus terluka dalam hubungan pernikahan yang terombang-ambing. Bercerai tidak selalu salah, ada sebab yang mendasari mengapa banyak orang di dunia ini memilih berpisah daripada harus melanjutkan pernikahan yang tidak sehat, dan Iren juga punya alasan kuat mengapa ingin berpisah dari Dikta.

"Bertahan di hubungan yang rusak juga bakal ngelukain Una, Joy. Kalau Una tahu orang tuanya bersatu karena terpaksa pasti lebih bikin mental Una tertekan."

"Ck, yang rusak masih bisa diperbaiki, Ren. Ah, percuma lo minta saran sama gue kalau ujung-ujungnya udah punya pilihan sendiri. Ya udahlah, terserah lo mau gimana."

Iren menengadahkan muka. "Apa yang mau diperbaiki, Joy? Dikta aja kelihatan sayang banget sama Luna."

"Jadi ceritanya lo nunggu Dikta beraksi duluan?"

Iren berdecak. Mobil itu berhenti di parkiran kantor Joy.

"Lo mau gue ngasih tahu Dikta, Ren? Biar dia tahu diri dan lebih lakik gitu." Joy mengambil tasnya, bersiap untuk turun dari mobil Iren.

"Nggak usah, makasih."

Joy tertawa mendengarnya.

"Buruan lo keluar." Iren memelototi Joy yang mulai banyak tingkah. Setelah Joy turun, Iren berlompat ke kursi pengemudi tanpa mau repot-repot turun dari mobil.

Berpisah Itu Mudah (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang