22 | malam pertama di rbc

25.9K 2.6K 426
                                    

Peraturan lapak Fulv:
•Vote sebelum membaca
•Tinggalkan komen yang banyak
•Follow akun author buat yg blm follow

Happy reading! Semoga suka sama part ini💖

***

Iren baru selesai mandi pada pukul setengah enam sore. Sama seperti Dikta, Iren juga berganti baju di kamar mandi. Setelah keluar dari rungan kecil itu, terlihat Dikta yang sedang berbincang dengan seorang ibu-ibu tua di depan rumah. Iren meringiskan senyum sebelum masuk ke rumah membawa baju kotor, rambutnya masih tergulung handuk.

"Halo, Bu." Iren mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan ibu tua berdaster batik cokelat tersebut.

"Halo, Nak. Namanya siapa?"

"Iren, Bu. Aku panggil Ibu aja nggak apa-apa?"

"Oh, nggak apa-apa. Saya kan memang udah ibu-ibu," canda ibu itu.

"Kalau boleh tahu, nama ibu siapa?"

"Bu Arum, Nak. Duh, mantunya Pak Bambang cantik banget."

Iren tersenyum lebar dan mengucapkan terima kasih.

"Bu Arum kenal sama ayah?" Iren sedikit mencondongkan tubuhnya pada Dikta.

"Katanya kenal, karena—" Dikta tiba-tiba terdiam, tampak kerutan jelas di dahinya, seperti ada yang menggangu pikirannya. "Biar Bu Arum yang cerita. Boleh, Bu?"

"Tadi Ibu udah cerita sama suami kamu," jawab Bu Arum. "Dulu, Pak Bambang sama istrinya juga pernah tinggal di rumah yang kalian tempati sekarang."

Iren melebarkan mata. Sebuah dugaan muncul di benaknya.

"Ngapain ayah sama mami di sini?" Ditatapnya Bu Arum dan Dikta secara bergantian.

"Karena ingin cerai juga," jelas Bu Arum yang sontak membuat Iren terkejut.

Tentang orang tua Dikta yang pernah akan cerai saat Dikta dan saudaranya belum lahir memang sudah Iren ketahui. Namun, perihal kedua mertuanya yang pernah di kirim ke tempat tersebut dengan alasan yang sama seperti kasusnya dengan Dikta lebih membuat Iren tercengang.

"Jadi, kita bukan yang pertama RBC-RBC-an?" Iren melotot pada Dikta. "Ralat, maksudnya ke RBC ini, bukan batal cerainya. Tunggu, emangnya tahun berapa mami sama ayah dikirim ke sini?"

"Sekitar tiga puluh tahun yang lalu, akhir-akhir tahun delapan puluhan seingat Ibu, waktu itu Ibu juga baru menikah."

"Kok bisa di daerah ini?" Iren masih tidak paham. Kenapa harus tempat yang jauh dari ramainya pemukiman?

"Dulu, di samping rumah Ibu ada satu rumah lagi, rumah Pak Tori. Pas di perkebunan itu. Nah, Pak Tori inilah yang orang tua Dikta ikuti kemari. Pak Tori ngerantau di Jakarta, kerja di pabrik orang tuanya Pak Bambang. Cuma, sekarang Pak Tori sama keluarganya udah pindah ke Jakarta. Menetap di sana, udah hampir dua puluh tahunan. Tanahnya itu dijual, dibelilah sama Pak Bambang. Mulai dari tanah bekas rumah Pak Tori sampai tanah di rumah yang kalian tempati."

"Rumah ini udah lama ya berarti?"

"Oh nggak, rumah ini udah pernah dirombak tiga tahun lalu. Kalian nggak tahu? Pak Bambang sama Bu Sandra pernah nginap loh setelah rumah ini direnovasi."

"Emang pernah?" Iren melirik suaminya.

Dikta mengangkat bahu. "Aku juga nggak tahu. Kalau tiga tahun lalu, berarti sebelum kita nikah."

"Kalau Ibu lihat-lihat, interaksi kalian bukan seperti suami-istri yang akan cerai."

Iren dan Dikta saling berpandangan. Dikta menghela napas dan menyugar rambutnya pelan.

Berpisah Itu Mudah (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang