Bab 28 - Keputusan Putra

629 106 31
                                    

Kisah Sebelumnya :

Putra mulai meragukan keputusannya untuk menikahi Rara karena khawatir Rara dan keluarganya justru akan terluka.

Sementara Aziz masih berusaha mendekati Putra dengan gigih

***

Setelah menyelesaikan urusannya dengan dosen pembimbing, Rara bergegas menuju rumah Putra. Langkahnya ringan, tak sabar ingin menceritakan kejadian tadi siang kepada Putra.

Begitu sampai di depan rumah sang tunangan, Rara menekan bel rumah.

"Assalammualaikum, Flai! Asalammualaikum, Bunda!" Suara cemprengnya mungkin mengalahkan suara bel yang ia tekan. Sejak beberapa waktu lalu, Bunda Rafanda meminta Rara dipanggil dengan sebutan bunda saja. Tentu Rara tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.

Tak lama, Bunda membukakan pintu dengan senyum ramahnya.

"Wa'alaikumussalam. MaasyaAllah, Rara. Baru pulang dari kampus, ya? Kan Bunda bilang nggak usah tiap hari ke sini. Nanti kamu kecapaian."

Rara tersenyum lebar. "Nggak apa-apa kok, Bunda! Rara kan mau ketemu Flai! Eh, sama Bunda Rafanda yang cantik juga pastinya!"

Bunda tertawa kecil mendengar gombalan Rara. "Ya udah, masuk, yuk! Putra juga udah nungguin, tuh!"

"Wah! Flai nungguin Rara, Bun? Jadi geer nih!" Senyum Rara semakin lebar. "Oh iya, tadi Rara beli ini, buat Bunda. Semoga Bunda suka." Gadis itu menyodorkan bungkusan berisi martabak telur kepada Bunda.

Senyum Bunda entah kenapa terlihat getir. "Terima kasih ya, Ra. Jazaakillahu khoiron," Bunda menerima bungkusan itu, "sana, ngobrol sama Putra. Bunda ke dapur dulu ya, sekalian taruh ini. Rara mau minum apa?"

"Nggak usah repot-repot, Bunda. Air putih aja," jawab Rara tanpa melepaskan senyumnya.

Bunda mengangguk sebelum menghilang ke dapur.

"Assalammualaikum, Flai!" Dengan ceria, Rara menyapa Putra yang duduk di sofa. "Kata Bunda, lo nungguin gue, yaa?"

"Waalaikumussalam." Putra menjawab. "Duduk, Ra. Mm… iya, gue pengen ngomong sama lo."

Melihat sikap Putra yang terkesan canggung, Rara mengernyit. Dia duduk di sofa di hadapan Putra, lalu bertanya, "Mau ngomongin apa sih? Kok kayaknya serius banget?"

Putra tidak segera menjawab pertanyaannya. Pemuda itu kelihatan ragu, atau mungkin sedang menyusun kalimat dalam otaknya.

"Nih, pisang goreng dan teh manis. Silakan dinikmati ya, Ra." Bunda tahu-tahu sudah kembali dari dapur, menaruh suguhan di atas meja. Lalu yang membuat Rara kembali mengernyit heran, kali ini Bunda duduk di sebelahnya, bukan di sebelah putranya seperti biasa.

Rara kembali menatap Putra. Tunangannya itu menatap Bunda beberapa saat sebelum menghela napas.

"Ra … soal pertunangan kita, kita batalin aja, ya?"

"Hah??" Rara tidak percaya akan apa yang dia dengar. Gadis itu menoleh ke arah Bunda, meminta penjelasan, tetapi Bunda malah menyeruput tehnya seolah tidak tertarik dengan ucapan yang baru saja terlontar dari mulut Putra.

Rara terdiam. Jadi ini maksud senyum getir Bunda tadi. Putra pasti sudah memberitahu Bunda. Namun, gestur Bunda yang seolah tidak tertarik mengisyaratkan bahwa Bunda tidak ingin ikut campur. Bunda menyerahkan persoalan ini pada mereka berdua.

Meski begitu, Bunda duduk di sebelah Rara, bukan di sebelah Putra. Apakah Rara boleh menyimpulkan bahwa Bunda mendukungnya?

Andai tanpa dukungan Bunda pun, Rara akan memperjuangkan Putra. Apalagi dengan dukungan Bunda di sisinya!

LGBT story - FLAITHRI - Cinta di Persimpangan JalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang