Bab 3 - Antara Dua Hati

1K 180 89
                                    

"Kamu tenang dulu, Put." Aziz mengambil kesempatan itu untuk menepuk-nepuk lembut punggung tangan si pemuda. Hanya beberapa tepukan, Putra sudah menarik tangannya.

Bukannya tersinggung, Aziz justru mengulum senyum. Dia sudah memperhatikan pemuda itu selama empat tahun. Dia tahu, penolakan yang  sering diberikan oleh pemuda padanya itu bukan disebabkan rasa tidak nyaman, melainkan … salah tingkah.

Ya, Aziz yakin seyakin-yakinnya bahwa Putra menyukainya. Dia bisa merasakannya dari pancaran mata pemuda itu saat menatapnya. Dia bisa melihatnya dari rona merah muda yang sering muncul saat ia menyentuh pemuda itu.

Putra, Putra …. Kenapa sih, kamu keras kepala banget? Sampai kapan kamu mau menyangkal perasaanmu padaku?

Aziz gemas sendiri. Reaksi pemuda itu terlalu jujur hingga Aziz sempat yakin bisa mendapatkan pemuda itu kapan pun. Namun faktanya, selama empat tahun ini progres pendekatannya berjalan selambat siput.

Putra seolah memasang tembok kaca tebal di antara mereka. Membuat ilusi bahwa dia bisa menggapai pemuda itu, tetapi saat mendekat, dia baru menyadari keberadaan tembok kaca di sana.

Tidak apa-apa, Aziz yakin dirinya sudah berada di rute yang tepat. Dia akan membuat Putra jatuh lebih dalam hingga pemuda itu dengan senang hati akan membukakan pintu kaca itu untuknya.

"Dia nggak punya bukti apa-apa kan? Kalo dia sampe nyebarin gosip, kamu bisa bilang cuma bercanda. Bilang kesal karena terus-terusan diteror dia," usul Aziz.

Putra terdiam, mencerna ucapan Aziz. Benar, Rara tidak punya bukti. Dia bisa berkelit dengan mudah, tidak akan ada yang percaya gosip seperti itu tentangnya.

Dia menghela napas lega, bersyukur meminta saran pada pria di hadapannya. Putra jadi merasa konyol karena panik sendiri.

"Makasih, Bang. Abang betul, dia nggak punya bukti apa-apa." Putra mengulas senyum tipis.

"Nah, gitu dong, senyum!" Aziz membalas dengan senyum lebarnya. "Tapi kalau pun ada apa-apa, kamu harus percaya, Abang akan selalu ada di sisi kamu," tambahnya seraya mengacak rambut Putra. Tanpa bisa dicegah, semburat rona merah kembali muncul di pipi pemuda itu.

Putra menarik tubuhnya ke belakang, melepaskan pucuk kepalanya dari tangan Aziz. Salah tingkah. "A-ah, udah mau Magrib, Bang. Saya mau siap-siap dulu. A-abang juga harus pulang dulu kan," katanya sambil berdiri.

Tingkah mengemaskan pemuda itu membuat Aziz terkekeh geli.

"Oke, Putra. Sampai jumpa di masjid, ya!"

Putra mengangguk sepintas dan mengucap salam. Dengan terburu, ia meninggalkan Aziz, berusaha meredakan detak jantungnya yang bertalu.

 Dengan terburu, ia meninggalkan Aziz, berusaha meredakan detak jantungnya yang bertalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Putra berangkat kuliah dengan was-was. Bahkan tugas pun dikerjakan mepet Subuh buta, itu pun karena ada peringatan di WhatsApp grup kelasnya jangan sampai lupa atau dosen killer itu akan menghukum tanpa ampun.

LGBT story - FLAITHRI - Cinta di Persimpangan JalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang