Bab 22 - Proses yang Mendebarkan

611 113 54
                                    

Malam itu, Rara sudah terlelap di kamarnya. Tubuhnya begitu lelah karena Mira memintanya mengganti gorden, mengelap semua sudut rumah sampai kinclong! Rara bahkan berpikir bisa berkaca pada ubin dan juga lemari kayu sangking bersihnya.

Belum lagi Mira tampak panik memesan banyak sekali makanan sampai Hanan harus menegurnya agar tidak berlebihan mengingat hanya akan ada dua tamu yang datang.

Sementara itu di kamar utama, Hanan tengah memijit kaki Mira yang terasa panas karena kelelahan.

"Kamu maksain diri banget, sih. Nih, kakinya sampe panas gini. Kecapaian ini, sih!" Hanan memijat perlahan dari telapak kaki naik ke atas.

Mira memiringkan kepalanya sambil menatap kosong ke depan. "Anak kita mau nikah lho, Mas. Cepet banget, ya? Rasanya, baru kemarin dia brojol...."

"Lahir!" potong Hanan cepat.

"Iya, lahir." Mira terkekeh kemudian menarik napas. "Mas yakin mau ngizinin dia? Kita belum kenal siapa cowoknya. Apa dia bener-bener saleh? Apa jangan-jangan Rara kena pelet."

"ASTAGFIRULLAH!"

"ADUUUH!" Mira menjerit. "Sakit, Mas! Nekennya kenceng bener." Wanita itu memutar tubuh dan duduk.

"Ya, kamu bikin kaget!" Hanan beristighfar sekali lagi. "Maaf, sini aku cek kakimu." Pria itu kembali mengecek kaki Mira. "Oh, aman." Hanan mengembuskan napas lega.

"Ya habis, lamaran ini dadakan banget, Mas. Aku sampe syok."

Hanan melanjutkan pijitannya. "Tapi bagus juga, lho! Kapan lagi kamu lihat Rara sebersemangat itu? Sejak Tara nggak ada, dia sempat mengurung diri, pendiam, aku sampai khawatir dia akan bunuh diri juga." Sejenak Hanan menarik napas dan menghentikan gerakannya. "Aku cuma pengin Rara bahagia. Kalau dia bisa bahagia dengan Flai, masa kita harus kembali merebut kebahagiaannya?"

Kali ini Mira menarik kakinya dan bergerak duduk. "Iya. Aku juga hanya berharap Rara berbahagia."

Keduanya bertatapan sejenak.

"Tapi awas aja sampai si Flai nyakitin Rara, aku akan nyuruh mereka cerai!" Mira bicara dengan berapi-api.

"Astagfirullah. Enggak boleh ngomong gitu. Doakan aja pernikahan mereka langgeng dan sakinah, mawadah, warahmah. Oke?"

Mira terdiam sebelum mengangguk. "Makasih udah selalu mengingatkan aku, Mas."

"Kita saling mengingatkan. Kita berjuang bersama untuk menjadi manusia dan orang tua yang lebih baik lagi, ya."

Hanan membelai pipi Mira perlahan dan dibalas dengan anggukan. Satu tahun belakangan mereka berusaha memperbaiki hubungan dengan Allah, dengan pasangan, dan dengan Rara. Hingga kini pun mereka masih berusaha menjadi lebih baik.

💖💖💖

Pagi menjelang, Putra tampak sibuk bersiap-siap. Perutnya terasa melilit. Baru kali ini dia harus buang air besar dua kali dalam satu jam.

"Put, jangan stres. Kalau stres, pas ngelamar terus numpang WC, kan nggak lucu. Perlu yakult?" goda Rafanda sambil tertawa.

Yang digoda hanya memajukan bibirnya sedikit. "Nanti yang ngomong Bunda apa Putra?"

"Ya, kamu lah! Yang mau kawin, eh, nikah siapa?"

Putra langsung mengembuskan napas keras dari mulut. "Ngomongnya langsung aja kayak, 'Saya ingin menikahi Mahira. Bo-lehkah saya ambil, eh, menikahi anaknya?'" Putra terlihat sangat gugup.

Suara tawa Rafanda langsung terdengar nyaring. "Grogi bikin kamu belibet, tuh. Perlu bikin contekan? Macam mau akad."

"Udah ah, ayo berangkat!" Putra mendorong Rafanda untuk menutupi rasa gugupnya.

LGBT story - FLAITHRI - Cinta di Persimpangan JalanWhere stories live. Discover now