“Mama mohon jangan pernah membenci siapapun. Apapun yang terjadi nanti, semuanya sudah digariskan oleh Tuhan. Jangan menyalahkan siapapun.”

Perkataan Mamanya sebelum menghembuskan nafas terakhir selalu terngiang dalam benak Max. Dan karena itu pula membuatnya kadang kesulitan untuk tidur.

Max sedikit merasa bersalah karena tak bisa memenuhi permintaan terakhir Mamanya. Keadaan yang membuat Max membenci Papa dan juga Matthew.

“Maaf,” gumam Max entah pada siapa.

Max mengubah posisinya tidurnya hingga saat ini terlentang. Menatap langit-langit apartment miliknya dengan tatapan kosong.

Jika dalam keadaan sendiri dan pikiran yang sedang tak baik-baik saja seperti ini, rasanya Max ingin segera mengakhiri hidupnya. Ia merasa tak memiliki gairah untuk hidup setelah kepergian Mamanya.

Sejujurnya, Max tak kuat terus seperti ini. Bukan fisik, melainkan mentalnya yang tak baik-baik saja. Seringkali ia menyakiti diri sendiri untuk melampiaskan emosi. Tak jarang pula hasrat ingin bunuh diri itu hadir saat-saat terpuruk dalam hidupnya.

Keinginan untuk menyusul Mamanya ke surga. Bisa bertemu dengan Mamanya dan hidup bahagia di alam sana. Max selalu memikirkan itu.

Menurutnya, di dunia ini tak ada alasan untuk Max bertahan. Ia juga tak memiliki tujuan hidup. Jadi, untuk apa ia bertahan di dunia ini?

Tatapan Max terkunci pada sebuah cutter yang terletak di meja samping televisi.

Max langsung mengambil cutter tersebut dengan gerakan pelan. Mengarahkan cutter tersebut ke arah pergelangan tangannya dengan tatapan kosong.

“Tinggal kasih tahu nama Lo dan gue akan biarkan Lo pulang.”

“Nama gue Althaia. Udah kan? Sekarang minggir, gue buru-buru.”

“Lo pikir gue babu!” Althaia menatap Max dengan tajam.

“Bukan. Lo itu ibu dari anak-anak gue nanti.”

“Cowok stres.”

“Yeah. Dan cowok stres ini yang akan jadi suami Lo di masa depan nanti.”

Max,” ucap Althaia pelan.

“Kenapa? Lo butuh sesuatu?”

“Lo nyata, kan?”

Sekelebat ingatan dengan Althaia membuat Max tersadar. Ia menatap pergelangan tangannya yang sudah mengeluarkan cukup banyak darah sebab cutter tersebut sudah menggores pergelangan tangannya.

Sshhh,” ringis Max yang mulai merasakan perih.

Max buru-buru mengambil kotak P3K di laci samping tempat tidurnya. Sebelum itu ia terlebih dahulu membersihkan lukanya dengan air sebelum diberi obat merah. Ia tak berniat menutup lukanya tersebut dengan plaster ataupun perban. Ia membiarkannya begitu saja. Yang terpenting ia sudah mengobati agar tidak menimbulkan infeksi nantinya.

Pikiran Max langsung tertuju pada gadis yang akhir-akhir ini selalu hadir dalam hidup Max. Yang tak lain adalah Althaia Calista.

Max sendiri tak mengerti kenapa bisa dengan mudah tertarik dengan Althaia. Karena setelah pertemuan pertama dengan Althaia di club' malam saat itu, Max langsung merasakan perasaan yang tak biasa ia rasakan sebelumnya.

Seperti rasa senang dan ingin memiliki. Ya seaneh itulah dirinya. Bahkan baru pertama kali bertemu, namun rasanya ia ingin memiliki Althaia untuk dirinya sendiri. Membuat Althaia hanya tunduk padanya. Saling jatuh cinta dan bahagia bersama.

Max menginginkan Althaia menjadi miliknya. Dan bagaimanapun caranya, Max akan mewujudkan itu semua. Althaia Calista hanya untuk Maximilian Archard.

*•.¸♡ To Be Continue♡¸.•*'

Q : Pernah membenci takdir yang digariskan Tuhan?

Ada yang ingin disampaikan untuk :

1. Max

2. Althaia

3. Grace

4. Dylan

5. Maudy

Jangan lupa tinggalkan vote dan komen. Tolong banget juga share cerita Max ke teman-teman kalian. Kalau mau promosi lewat tik tok, jangan lupa beri #Hellomaxwattpad

See you next part👋🏻👋🏻

Hello MaxWhere stories live. Discover now