Íkosi Eptá

2K 198 5
                                    

Azka terbangun dari tidurnya karena mimpi buruk yang cukup mengejutkan ia saat membuka mata. Bahkan perawat yang sedang berniat mengganti cairan infus itu ikut terkejut karena ia.

Tapi, Azka tidak mengatakan apapun dan memilih untuk memalingkan wajahnya sambil memejamkan mata kembali. Ia berpikir kemungkinan memang sedang mimpi atau sebenarnya ia juga masih belum sadar sepenuhnya.

“mimpi ya,” batinnya.

“Maaf, ini di rumah sakit?” tanya Azka setelah ia berusaha kembali untuk mengambil kesadarannya.

Perawat yang ditanya pun menganggukkan kepala, “Iya, kamu kemarin baru saja masuk karena kelelahan.” ujar perawat itu membuat Azka refleks duduk dari kasurnya.

“Eh, eh. Jangan banyak gerak dulu, itu tangannya masih ada jarum suntik!”

Decakan yang terdengar kasar cukup menghentikan ucapan dari sang perawat. Apalagi ketika melihat pasiennya, menarik begitu saja jarum suntik yang menusuk telapak tangannya.

Azka tidak peduli untuk itu, sekarang ia harus pergi ke ruangan dimana Kaila berada. Perawat tadi bahkan sudah mengejarnya, tapi Azka lebih dulu masuk ke dalam lift dan dengan santai tersenyum tipis ke arah sang perawat.
senyuman miring yang menyebalkan, jika dilihat secara langsung.

Ia melirik ke arah telapak tangan kirinya, sedikit ada bercak darah di sana. Kemungkinan karena ia terlalu keras menarik jarum itu. Pintu lift terbuka tepat dilantai ruangan Kaila, ia berjalan beberapa langkah menuju tempat dimana gadis itu di rawat.

Bahkan belum masuk ke dalam ruangan itu, Azka bisa mendengar keributan yang terjadi di dalam. Ia bisa membayangkan, jika sesuatu terjadi lebih parah dari suara yang terdengar oleh telinganya.

Jadi, dengan yakin ia membawa pintu ruangan tersebut dan berjalan masuk setelah kembali menutupnya. Tatapan kedua perawat yang sedang berusaha menenangkan Kaila pun kini beralih kepadanya.

Perhatian Azka jatuh pada mangku jatah sarapan yang disediakan oleh rumah sakit untuk setiap pasien, kini tidak lagi berbentuk isinya. Dengan hati-hati, dan tanpa suara ia mengambil mangku stainless itu sambil menyusunnya di meja.

“Buburnya masih panas, kan?” tanya Azka sambil membersihkan beberapa cipratan bubur yang mengenai baju pasien Kaila dengan tisu.

Kedua perawat saling menatap satu sama lain, bingung dengan siapa sosok itu bertanya. Tidak seperti kepada mereka atau bahkan kepada sang pasien.

“Kulit lo bakalan melepuh kalo kena,” ucapnya yang kini menatap Kaila dengan wajah datar.

Kaila melihat tatapan tersebut, sama seperti dulu saat Azka marah padanya. atau lebih tepat ketika mereka belum saling mengenal satu sama lain dulunya.

Kaila menundukkan kepala, memperhatikan tangan kanan Azka yang terbalut perban dengan rapi membuatnya merasa bersalah, meskipun tidak tahu sebab pasti mengapa tangan itu terluka.

Azka membalikan tubuhnya untuk berhadapan dengan kedua perawat yang ternyata masih berada di sekitar mereka. Ia mengucapkan maaf beberapa kali, yang bahkan Kaila jarang mendengar kalimat itu keluar dari bibir yang paling tua.

“Itu bubur jatah sarapan yang udah sediakan oleh rumah sakit, jika ia membuangnya begitu jatah sarapan dia tidak akan ada lagi.” ujar perawat dengan nada khawatir.

Azka menganggukkan kepalanya, memahami peraturan yang ada di setiap rumah sakit mengenai jatah makanan pada pasiennya.

“Kami tidak bertanggung jawab mengenai hal tersebut, karena memang sudah disediakan sesuai dengan jumlah pasien pada hari ini.” ungkap perawat itu dan Azka menggangguku paham.

𝐂𝐚𝐦𝐚𝐫𝐚𝐝𝐞𝐫𝐢𝐞 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang