35: Jejak Kaki

0 2 0
                                    

Satu tahun berlalu, di kota yang penuh kesibukan. Kota dengan berbagai komunitas penulis-penulis kecil yang menjadi salah satu alasan gadis itu memilih tempat ini.

Disentuh daun yang diletakkan di meja, digunakan indera sentuhannya dengan baik untuk menyentuh batang, cabang, hingga serat-serat daun.

Ia pikir semuanya akan berjalan lebih mudah, hidup nyaman bersama kata dan kalimat yang disusun di atas kertas dalam layar, pemandangan kota yang indah, meningkatkan skill memasak, serta menikmati suasana kota sendirian tanpa Sergio. Ah, belum apa-apa nama itu sudah disebut.

Nama dan sosok yang menjadi bagian dari alasannya untuk pergi. Demi melakukan tugasnya dengan baik, melupakan. Sayangnya, Sergio selalu tahu jalan kembali. Kala gadis itu tinggal satu langkah lebih dekat, Sergio muncul.

Ikatan yang bercabang itu lebih rumit dari dugaannya. Sekedar membeli ice cream, duduk di cafe, dan menikmati pemandangan kota Portland sosok itu terlihat jelas sedang duduk di depannya, menunggu, dan dengan sabar menemani.

Eliana mulai lelah, bahkan untuk mengingatkan dirinya sendiri. Kepalanya mulai sakit tiap kali dipukul dan dipaksa untuk menghapus ingatan. Ia juga bingung mengapa hatinya keras kepala, membeku dan membatu dengan ukiran tentang Sergio di seluruh permukaan.

Sergio terlalu terlibat dikehidupannya, sampai hal yang paling kecil. Ia meninggalkan jejak yang membekas begitu dalam. Selalu Sergio, Sergio, dan Sergio. Lantas, apa gunanya Ia menyerah?

Apa Sergio sudah baik-baik saja? Apa Sergio menikmati perjalanan hidupnya? Harusnya iya, karena kalau tidak lebih baik Eliana kembali.

Ia pergi karena takut Sergio akan membencinya begitu tahu kalau Eliana gagal melakukan tugas sederhana itu. Ia pergi sebelum Sergio memutuskan untuk pergi.

Benar, lagi-lagi alasan utamanya adalah Sergio. Bodoh, memang. Sudah disakiti bagaimanapun, hatinya memang keras kepala dan Eliana tidak tahu cara melunakkannya.

Bicara tentang cara melunakkan, ada sosok yang hampir berhasil melakukan itu. Siapa lagi kalau bukan Julian. Pria itu datang diwaktu yang tepat, disaat dirinya kosong, hampa, dan buta arah.

Percaya atau tidak, Julian termasuk dalam salah satu alasan Eliana untuk pergi. Tiap kali melihatnya, gadis itu seperti berkaca. Ia melihat dirinya di dalam Julian. Sosok pemilik hati yang tulus, bahagia dengan caranya mencintai, serta memiliki ambisi yang kuat. Hal itu, menyakitkan. Tiap kali menatap matanya, rasanya Ia akan menangis. Sakit, terlalu perih dan sesak.

Pria itu sempat membuatnya bernapas lebih lega. Membuatnya merasa tenang dan nyaman begitu tahu ada sosok yang bisa memahami dirinya. Tapi, hal itu tidak berlangsung lama. Gadis itu menyadarkan dirinya sendiri sebelum larut dan jatuh lebih dalam.

Pria itu, Julian Lozano, terlalu baik dan tulus. Ia berhak bahagia dengan kehidupan romansanya. Tidak perlu mencari alasan bertahan, tidak boleh tersakiti. Oleh karena itu, Eliana memutuskan untuk pergi sebelum Julian menjadi sosok Eliana yang lain. Karena Ia tahu, dirinya tidak bisa memberikan perasaan yang sama dengannya. Sebesar dan setulus perasaan Julian padanya.

Tujuan Eliana yang kedua sangat sulit dicapai, Pria itu menjaga komunikasi. Paling tidak, satu kali sehari. Sekedar bertanya sedang apa, dimana, akan melakukan apa, atau makan apa. Bahkan intensitas Julian menghubunginya lebih sering daripada Eliana menghubungi orang tuanya.

Eliana mengerti, Ia menjawab dan bercerita pada Julian. Bukan karena ingin memberi harapan palsu, tapi karena Eliana pernah melalui fase yang sama. Tidak akan mendengarkan ucapan siapapun, tidak akan menyerah sampai titik darah penghabisan. Mungkin benar, cinta itu buta. Paling tidak, Eliana sudah mengatakan pada Julian untuk berhenti lebih awal.

MEMBIRUWhere stories live. Discover now