27: Tiang yang Rapuh

3 2 0
                                    

Tok.. tok.. tok..

"Nona, sudah waktunya" ucap suara dari balik pintu.

Bukannya enggan menjawab, hanya saja rasanya Ia tidak punya tenaga. Tenggorokannya kering, lidahnya kelu, terlalu lemah.

Untuk kedua kalinya, tanpa izin pemilik ruang. Kenop pintu itu diturunkan hingga pintu itu bergerak terbuka.

"Nona.." panggilnya.

Yang dipanggil bangkit, membiarkan pintu itu terbuka lebih lebar, artinya orang itu dipersilahkan untuk masuk.

Sosok itu duduk dihadapan Eliana, meraih tangan gadis itu, lalu membersihkan kotoran tanah yang sudah mengering menggunakan tissue basah.

Gadis itu menunduk, masih dengan pandangan yang kosong membiarkan Sergio membersihkan tangan dan lantai kamarnya.

"El.. kamu.." suaranya ragu, tapi terdengar serius.

Begitu namanya disebut artinya Pria itu sudah berubah mode dan gadis itu belum siap. "Kamu datang sebagai pekerja, bukan teman" lanjutnya.

Hening. Sergio membersihkan lengan Eliana, ponsel, dan merapihkan plastik berisi ice cream yang telah mencair.

"Mau masuk kuliah?" tanyanya.

Gadis itu mengangguk.

"Nona punya waktu empat puluh menit, Saya tunggu di bawah" ucap Sergio, kemudian menghilang di balik pintu.

Hari demi hari berlalu, Eliana tetap melakukan kewajibannya sebagai mahasiswi dan keluarga Albert. Ia tidak pernah absen saat kelas, jadwal makan keluarga, dan acara kolega.

Bedanya, tiap kali Skyla atau Sergio mengajaknya pergi, gadis itu selalu berkata "Aku ingin sendiri". Sejak itu, selama tiga hari terakhir, gadis itu menghabiskan waktu luangnya sendirian, di dalam kamar.

Sesekali Ayah dan Ibu mengunjugi dirinya di kamar, memberi nasihat yang sebagian besar kalimatnya hanya singgah dua detik. Mereka bilang, tidak bisa Sergio. Alasannya karena Sergio sangat berbeda. Sergio tidak akan mengerti beratnya mempertahankan bisnis, diancam diberbagai sisi, digoyahkan pihak sana dan sini bahkan teman terdekat, belum lagi persaingan politik. Sisanya, Eliana tidak ingat karena tidak ingin mendengar.

Tapi, gadis itu tidak membenci kedua orang tuanya, Skyla, atau Sergio. Karena gadis itu mencoba mengerti, lantas kenapa mereka tidak ada yang mencoba mengerti dirinya?

Ia berusaha semampunya untuk terlihat baik-baik saja, bila seseorang merasa ganjil, itu sudah di luar kemampuannya.

Tentu saja tiga hari itu tidak mudah, justru terlalu berat sampai terlintas dalam benaknya untuk pergi, meninggalkan semesta.

Ia menoleh keluar kaca, mengamati tetesan air yang hinggap di kaca. Membentuk bintik-bintik abstrak.

"El.." panggil Sergio.

Tiap kali namanya disebut, Eliana akan menghindar dengan kalimat yang sama. "Aku belum siap" jawabnya tanpa menoleh.

Benar, gadis itu tidak siap dan mungkin tidak akan pernah siap. Ia takut mendengar apa yang akan dikatakan oleh Sergio. Selang tiga hari itu, alasan terbesarnya adalah ini. Karena Ia ingin menghindari kebenaran. Ia lupa, kalau kebenaran itu bisa menyakitkan.

Untuk pertama kalinya, Ia ingin Sergio berbohong. Mungkin, sesekali mendengar kebohongan tidak masalah.

Berbohonglah, kali ini Aku tidak akan mencari kebenarannya.

"Siap atau tidak, kamu harus dengar" ucap Sergio.

Gadis itu hendak membuka pintu mobil yang ternyata dikunci. Ia menggunakan cara kedua, menutup telinga. Ia mengenakan earphone dan menyalakan musik sembarangan.

MEMBIRUWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu