32: Hari Lain

3 2 0
                                    

Langkah yang kecil menghampiri Pria yang sedang menunggu di depan gedung. Gedung tempat Eliana membenahi kondisi mentalnya yang terguncang.

Wajahnya tersenyum menyapa, tanpa mengucap kata. Sapaan yang juga dibalas dengan senyum selagi masuk ke dalam mobil sedan berwarna hitam.

Hari demi hari berlalu, alasan Eliana dibawa ke gedung ini salah satunya merupakan permintaan Julian.

Senin pagi, tepat satu hari setelah badai. Eliana menjalani kehidupan kampusnya seperti biasa, diantar dan dijemput oleh Sergio, lalu makan siang bersama Skyla. Hanya tidak ada club malam dan pergi diam-diam. Benar, mungkin dari luar Ia terlihat sudah kembali menjadi Eliana yang dulu. Tidak sampai satu malam, hanya selang beberapa jam. Prosesnya terlalu singkat.

Mendengar itu, sore harinya Julian menghubungi Eliana, menanyakan kabar dan menawarkan untuk makan malam bersama. Ia ingin memastikan dengan mata kepalanya sendiri. Beruntung, Eliana menerima tawarannya. Kali ini tanpa perjanjian, tanpa voucher, tanpa alasan yang dibuat-buat, murni hanya undangan makan malam biasa.

Gadis itu diantar oleh Sergio menuju lokasi. Julian sampai lebih dulu, memesan pasta kesukaan Gadisnya, serta ice cream sebagai penutup. Pria itu duduk di depan kaca besar yang menghadap ke jalan, memperlihatkan pemandangan kota, juga pintu utama restoran. Dari tempat duduknya, Julian bisa mengetahui kedatangan Gadisnya.

Mobil yang biasa dikendarai Eliana tiba. Gadis itu turun, mengenakan gaun berwarna putih yang berhenti tepat di lutut, rambut di kepang rapih, serta tas krem kecil di lengan. Cantik, benar-benar menggambarkan seorang Putri dari keluarga Albert yang anggun dan elegan. Ia tersenyum dan bergegas bangkit, hendak menjemput Gadisnya.

Namun, baru selesai menuruni tangga, belum sempat menyapa, Gadis itu melangkah melewati Julian. Ia lewat dengan wajah menunduk mengikuti langkah pelayan sebagai petunjuk jalan dengan tangan kanan yang memukul kepalanya berkali-kali. "Lupa, Eliana, harus lupa" ucapnya.

Napas Julian tercekat. Ia berdiri di tempat itu selama beberapa detik, lalu memutuskan untuk ke kamar kecil, menata hati yang lagi-lagi dihantam sekaligus menenangkan diri. Benar, ini baru satu hari, Eliana mungkin belum menyesuaikan diri. Tentu saja, pasti tidak mudah baginya. Semoga, Eliana akan membaik dalam beberapa hari kedepan. Dengan perasaannya yang ganjil, Ia kembali menuju meja makan. Keduanya menikmati makan malam bersama.

Setelahnya, Julian lebih banyak menyisihkan waktunya untuk Gadis itu. Sering menghubungi sekedar menanyakan makan siang atau sedang apa. Selalu minta Gadis itu untuk menghubunginya kalau sudah sampai rumah. Layaknya pacar yang over protective, padahal status keduanya tidak jelas.

Hari lainnya, sabtu pagi. Tidak ada lagi jadwal kencan buta, tidak ada lagi hari sabtu terakhir. Kini Eliana punya lebih banyak waktu luang untuk melakukan apa yang Ia sukai.

"Julian, kata Ibu Aku tidak perlu melakukan kencan buta lagi" dalam beberapa detik, Julian bisa menangkap ekspresi yang muram sebelum kembali fokus pada jalan di depannya.

"Baguslah, sekarang kamu jadi punya banyak waktu luang" ucapnya.

Eliana mengangguk, "Benar.." dalam hitungan detik suaranya menjadi ragu.

"Kenapa?" tanyanya

"Kita hanya teman, kan?" tanyanya selagi menoleh ke arah Julian. "Jangan-jangan Ibu melakukan itu karena berpikir kita ada sesuatu?" lanjutnya.

Kala itu Julian mengusak puncak kepala Gadis itu, "Hush, mungkin Ibumu sudah kehabisan kenalan" jawabnya setengah bercanda.

"Mungkin.." ekspresinya masih menunjukkan keraguan.

"Aku sudah mengatakannya dengan tegas, kalau kita hanya teman" lanjut Julian dengan jawaban yang sekiranya lebih meyakinkan.

Gadis itu tersenyum dan kembali bersandar dikursinya usai merasa lebih tenang. "Berarti nanti, Aku juga akan kehabisan tempat liburan" ucapnya.

MEMBIRUWhere stories live. Discover now