37: Kenangan

1 1 0
                                    

Tiga hari berlalu, Eliana tidak kunjung pulih. Kondisi vitalnya normal, kata dokter mereka hanya harus bersabar.

Pria itu sedang berdiri di depan ruang 401, bersandar di dinding dengan tubuh lelah dan pikiran kalut. Memberi ruang pada orang tua Eliana yang baru sampai. Enggan membuat ruang semakin sesak.

Ia menunduk, pandangannya kosong, dan jemari digerakkan tanda gelisah. Saat itu, bahunya ditepuk. "Ikut saya" ucap Tuan Albert.

Keduanya melangkah menuju kantin rumah sakit. Julian tidak nafsu makan, tapi terpaksa memesan sup karena segan.

Sup itu hanya diletakkan sebagai pajangan, sesekali diaduk hingga dingin, tapi tidak kunjung dilahap. Melihat itu, Tuan Albert berkata "Eliana anak yang kuat, jadi kita juga harus kuat" ucapnya.

Julian hanya mengangguk. Dalam hati Ia juga tahu, Ia juga yakin gadisnya akan baik-baik saja. Tapi, seyakin apapun ada rasa takut yang tidak bisa hilang.

"Kami akan membawanya pulang. Supaya lebih mudah menjaganya" lanjut Tuan Albert.

Julian mengangkat wajah, "Biar Saya yang urus" ucapnya.

Tuan Albert mengangguk, "Saya serahkan padamu" ucapnya.

Keduanya makan siang bersama. Tuan Albert tidak lupa membawakan makan siang untuk sang istri, lalu Julian bergegas mengurus kepulangan Eliana.

"Maaf, tante kira punya Eliana. Jadi, tante buka" ucap Nyonya Albert kala Julian duduk di sofa, tepat di samping Tuan Albert. Sebuah kantung kertas berwarna hitam diarahkan padanya.

Ia menerima benda itu dengan kening berkerut. Belum sempat bertanya, Maxim masuk ke dalam ruang. "Kita bisa berangkat malam ini" ucapnya.

Tiga orang dalam ruang mengangguk mengerti. Maxim teringat sesuatu begitu melihat kantung hitam di pangkuan sahabatnya, "Itu" ditunjuk benda itu dengan telunjuknya. "Kantung yang Eliana bawa saat kecelakaan. Sepertinya Ia baru pulang belanja" lanjut Maxim.

Dalam sepersekian detik, Julian teringat rekaman cctv. Tanpa bertanya lebih jauh, Ia membukanya. Terdapat kartu ucapan berwarna putih berlogo merek ternama dan kotak persegi panjang berwarna hitam pekat yang di dalamnya berisi kacamata.

Dibuka kartu ucapan itu, 'Congratulations! Its been a long journey and you finally made it. Well, I know you will.

Hmm, its confusing to bought you a gift. You already have everything. But, I saw you working in front of a tablet or computer hour to hours. So, I bought you blue ray sunglasses.

It doesn't matter wether you like it or nah. You have to use it for safety!! One cup matcha for each time you forget!

Once again congratulations ^^
Ps: + free consultation voucher'

Terbayang dalam benaknya, senyum manis dan nada ketus pada ancaman gadis itu. Meski tidak ada nama yang tercantum, mereka tahu. Hanya Julian yang baru-baru ini keberhasilannya perlu dirayakan.

Digenggam kotak itu erat, netranya basah, Ia tersenyum pahit. Mungkin Ia akan bahagia jika Eliana yang memberikan itu padanya. Ia beralih menuju gadis di depannya. Tatapannya nanar dan dadanya sesak. 'Bangunlah, supaya Aku bisa mengucapkan terima kasih'.

Semua berjalan lancar, selang dua hari Eliana sudah kembali di kampung halaman. Bersama dengan suster dan dokter profesional yang siaga sepanjang hari. Masih dengan alat deteksi jantung.

Ternyata, butuh waktu lebih lama. Sudah hampir dua minggu dan Julian mulai terbiasa datang ke rumah Eliana setelah pulang kantor. Menceritakan kisah yang biasanya disampaikan melalui telfon, merawat Pp, lalu membacakan novel kesukaan gadisnya. Selalu di jam yang sama, pukul lima sore hingga dua belas malam.

MEMBIRUDove le storie prendono vita. Scoprilo ora