10: Tepat Sasaran

5 2 0
                                    

Tidak ada hari yang paling ditunggu-tunggu oleh seorang Gadis yang sedang duduk di tengah tribun selain hari ini. Hari yang dinantikan selama satu bulan penuh, sabtu terakhir.

Sepanjang perjalanan, Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak mencuri pandang ke arah Pria di sisinya. Pria yang sedang duduk dengan semangat membara dan netra berbinar penuh gairah.

Mereka berangkat pukul sembilan pagi demi terhindar dari padatnya lalu lintas. Tak lupa mengenakan atribut lengkap seperti jersey, banner, dan face painting.

Eliana tersenyum puas melihat pemandangan di sekelilingnya yang ramai, telinga tidak pernah sepi dan mata terisi penuh dengan aneka macam objek.

Ini adalah tempat ramai pertama yang Ia kunjungi bersama Sergio. Mungkin karena Sergio sudah memahami kejadian terburuknya sekaligus merasa percaya diri dengan instingnya yang tajam akan pertandingan sepak bola. Apapun alasannya, Eliana senang bisa mencoba hal baru bersama Sergio.

Pertandingan pertama usai, kemenangan diraih oleh tim yang didukung oleh keduanya.

Eliana merekam momen itu dan memastikan dirinya menyimpannya dengan baik.

Wajah Sergio yang memerah usai meneriakkan gol pertama, rahang yang mengeras tiap kali bola hampir mencetak gol, mata yang tidak pernah lepas dari bola, netra yang bersinar kala kemenangan diraih, serta lengan yang spontan mendekap Gadis itu tiap bola mencetak gol.

Rasanya bagai menaiki mesin waktu. Kembali ke masa itu, saat keduanya sekolah menengah. Gairah dan semangat Sergio yang telah lama dipendam kembali muncul, setelah selama ini Ia sembunyikan dalam berangkas pribadinya.

Saat ini keduanya telah duduk di salah satu restoran dekat stadium, menikmati makan siang mereka dengan suara serak dan peluh di tubuh.

"Kapan pertandingan selanjutnya?" tanya Gadis itu disela-sela kegiatan makannya. "El mau nonton lagi" lanjutnya.

Sergio menoleh ke arah gadis itu, merasa bersalah sebelum menjawab, "Nona, maaf.. tapi Saya tidak yakin ada jadwal yang cocok".

Senyum yang semula terpancar perlahan-lahan meredup. Untuk yang kesekian kalinya, Ia ingin melarikan diri, meninggalkan status dan citranya. Berhenti terpaku pada jadwal membosankan dan melelahkan itu.

Dalam diam, gadis itu menghabiskan makanannya. Berganti pakaian untuk menyesuaikan diri dengan tim yang akan bertanding, kemudian kembali ke dalam stadium.

Kali ini pertandingan dimenangkan oleh tim lawan. Namun, keduanya tidak merasa kecewa. Mereka puas dengan pertandingan sengit yang berlangsung.

Sebanyak apapun mereka menikmati momen itu, keduanya harus segera pergi dan kembali menjalani kehidupannya sehari-hari.

Pukul tujuh malam, mereka baru berhasil menembus keramaian dan berada di tengah-tengah padatnya lalu lintas. Tidak sempat berganti pakaian, melepas dahaga, atau mengisi perut dengan karbohidrat.

Sergio menekan pedal gas, bergegas menuju tempat selanjutnya. Ia gelisah, takut lalai dalam mengerjakan tugasnya ditambah lagi rasa bersalah akibat melihat Nonanya yang kelelahan dan belum sempat makan malam.

Berbeda dengan Sergio, gadis itu duduk di kursi penumpang dengan nyaman. Rambut dikuncir kuda, kaki direntangkan, sandaran kursi diturunkan, dan bantal yang Ia dekap erat-erat. Sama sekali tidak terganggu dengan hiruk pikuk di luar sana.

Sayangnya, kenyamanan itu direnggut oleh suara ponsel yang berdering nyaring. Suara yang berasal dari ponsel Sergio.

Eliana menoleh, mencuri pandang ke arah layar tersebut, membaca nama penelfon yang bertuliskan Maxim.

MEMBIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang