14: Dilanda Bimbang

2 1 0
                                    

Hukumannya sebagai sandera belum usai. Sang musuh terlihat belum puas dan terus-menerus menuturkan perintahnya tanpa jeda.

Puas atau tidak, gadis itu tidak peduli. Yang pasti, masa berlaku perjanjian konyol ini akan berakhir kurang dari delapan jam lagi.

Gadis itu menatap Pria di sampingnya, sedang berbaring di atas matras dengan mata terpejam dan dua tangan menopang kepala. Kemudian, beralih menuju laptop dan meja lipat di depannya, tidak mengerti mengapa Pria itu memerintahkan dirinya untuk membawa laptop.

Keduanya sedang duduk di atas matras, di bawah pohon rindang yang letaknya di sisi lapangan hijau yang luas. Lapangan yang ramai dikunjungi keluarga, pasangan muda, atau kerabat dekat.

"Sebenarnya kita mau ngapain?" tanya Eliana.

Pria itu menoleh dan membuka mata, "Kamu bilang harus mengerjakan revisi" tanyanya memastikan.

Gadis yang ditanya mengangguk.

"Kerjakanlah" ucapnya sebelum kembali memejamkan mata.

Kalau boleh jujur, Ia sedang tidak minat mengerjakan apapun. Rasanya ingin ikut bermain dengan anak anjing yang sibuk berlarian, anak kecil yang bermain layangan, berkeliling dengan sepeda, atau mencoba bermain petak umpat.

Melihat laptop di depannya memaksa dirinya menepis pikiran itu. Sudah dibawa sejauh ini, apa boleh buat.

Tidak butuh waktu lama untuk gadis itu larut dalam naskah puluhan halaman. Mengabaikan sekitarnya, membiarkan angin menepis helaian rambut, dan menikmati sentuhan hangat mentari yang jatuh di lengan. Sampai tidak sadar kalau Julian sempat berpamitan.

Beruntung revisinya tidak terlalu banyak, hanya butuh sembilan puluh menit untuk menyelesaikan semuanya.

Begitu menutup laptop, gadis itu disambut oleh dua buah bakpao dan minuman matcha dari toko kopi terkenal yang diletakkan di depannya. Ia merenggangkan ototnya yang kaku sebelum meraih salah satu hidangan itu.

Di sisinya, Julian mengamati dalam diam, "Sudah selesai?" tanyanya.

"Hmm" jawabnya singkat disela-sela kegiatan mengunyahnya.

"Berarti hari ini kamu tidak perlu lembur kan?" tanyanya lagi.

Kali ini gadis itu mengangguk. Melihat itu, Julian tersenyum.

Usai melahap bakpao rasa cokelat dan meneguk setengah gelas matcha, Eliana bangkit dari duduk, menghirup udara dalam-dalam, dan menggerakkan tubuhnya bagai pemanasan.

Setelah merasa cukup, gadis itu mendekat ke arah pedagang mainan dan kembali dengan bola ditangannya.

Bola itu dilempar ke arah Julian yang masih terbaring di atas matras. Lemparan yang meleset tapi berhasil membuat Julian bangkit.

"Aku bosan" ucap Eliana.

Seakan mengerti, Julian melangkah memberi jarak dan mengoper bola ke arah gadis itu. Keduanya menikmati permainan, sesekali tertawa kala bolanya diambil alih oleh anak anjing, napasnya tersenggal tiap kali menggambil bola yang menggelinding terlalu jauh, lalu marah tiap kali salah satunya berbuat curang.

Permainan berakhir dengan nilai 15 - 23 dimenangkan oleh Julian. Hari semakin gelap, lampu di sekeliling lapangan mulai dinyalakan, beberapa pengunjung mulai beranjak pergi. Julian tersenyum dengan kemenangannya, sementara Eliana masih sibuk mengatur napas.

Setelah napasnya mulai stabil, gadis itu teringat sesuatu. Ia merogoh sakunya, mengeluarkan sebuah kartu bertuliskan 'JOOLE'. Kartu yang hampir terlupakan.

Berhubung hari ini adalah hari terakhir mereka, Eliana berikeras harus mendapatkan jawabannya. Ia menyerahkan kartu itu pada Julian, "Apa maksudnya?" tanyanya.

MEMBIRUWhere stories live. Discover now