23: Kalimat yang Digantung

3 2 0
                                    

Dua hari setelah itu, Julian kembali. Masih dengan kebiasaannya, tanpa aba-aba, tanpa kabar, tanpa tanda. Sosoknya muncul di depan gedung fakultas sastra, dengan pakaian santai persis seperti terakhir kali dengan warna yang berbeda.

Senyum menyerigai serta lengan terbuka menyambut kedatangan sang Putri yang baru saja selesai.

Salah satunya rindu, merindukan tawa dan keberadaan sang Putri. Berharap dapat bertukar canda dan kisah seperti hari sebelumnya. Sayangnya, mereka tidak sama, satu yang lain gundah dan gelisah.

"Ayo" ucap Julian, tersenyum.

Gadis itu mematung, tidak bergerak, tidak pula menjawab.

"Kursus hari ke dua" nadanya terdengar bersemangat. Lebih semangat dari Eliana saat hari pertama.

"Aku tidak bisa" ucap gadis itu begitu sampai di hadapan Julian.

Julian mengerutkan kenin, menunggu, penuh harap.

"Sebentar lagi Sergio datang" suaranya yang lembut membuat Pria itu sedikit luluh.

Julian tersenyum, "Katakan saja seperti biasa. Ada tugas kelompok atau harus pergi dengan Skyla" ucapnya ringan.

Gadis itu menggeleng, netranya menangkap netra Julian, "Aku ngga bisa" ucapnya lagi, menekankan.

Senyumnya memudar, harapan perlahan hilang tertiup angin, pergi entah kemana. "Kenapa?" Ia mulai cemas, takut mendengarkan penjelasan selanjutnya.

"Kita harus berhenti" ucapnya. Netra gadis itu berubah menjadi dingin.

Pria itu diam, enggan terburu-buru menanggapi, Ia menunggu celah.

"Aku tahu maksud kamu. Harusnya kamu juga tahu kalau kamu ngga akan berhasil" lanjutnya.

Malam sebelumnya, gadis itu teringat bunga daisy berwarna merah. Bunga yang membuatnya penasaran. Biasanya Julian memberikan satu bucket bunga dengan warna pastel, lalu hari itu Ia hanya memberinya satu tangkai. Satu tangkai yang membuatnya membuka laman pencarian, mencari arti dari bunga itu.

Pria itu tersentak, pupilnya bergetar, menatap tajam, terlihat gelisah sekaligus takut. Netra itu menatap Eliana lamat-lamat, seakan berusaha menghentikan gadis di depannya. Memberi peringatan untuk tidak mengatakan apapun.

Setengah ragu, Pria itu menggerakkan lengan kanannya berusaha meraih lengan gadis itu. "Kita pergi dulu dari sini" ucapnya begitu lengan itu berhasil mengenggam.

"Kemana?" kini giliran lengan kiri itu yang bergerak, melepaskan.

Genggaman itu dilepaskan, membiarkan rasa gelisah memburu sang Pria. "Kita cari tempat yang enak buat ngobrol" ucapnya berusaha mengontrol diri, meski jantungnya sudah berdetak tak beraturan.

Ia tahu akan dilepaskan, tapi Ia tidak tahu akan secepat ini.

"Tidak perlu" gadis itu mengalihkan pandangan, bergerak memperhatikan sekitar. "Aku tidak punya banyak waktu" lanjutnya.

Untuk sepersekian detik, Pria itu memejamkan mata. "Kenapa tiba-tiba seperti ini?" tanyanya.

Gadis itu menunduk, menghindari tatapan Julian. "Aku ngga bisa bohong sama Sergio" ucapnya.

Mendengar nama itu sekali lagi membuat Julian mengepalkan tangannya diam-diam, "Kalau gitu ngga usah bohong, katakan saja.. bilang kita berteman" nadanya sedikit lebih tinggi, Ia lupa dengan sekelilingnya.

Gadis itu menggeleng, "Ngga bisa". Jemarinya yang bergetar disematkan.

"Eliana" suara itu lembut dan hangat. Sampai-sampai dadanya menyerngit perih.

MEMBIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang