01: Malam Terbatas

52 5 0
                                    

Langit yang semula biru berubah menjadi jingga. Laut yang semula surut, perlahan menjadi pasang. Tak lupa dengan ombak yang bergerak mengikuti angin. Angin itu berhembus menepis helaian rambut seorang gadis yang sedang sibuk melahap ice cream. Netranya melekat pada novel di tangan, selagi duduk di balkon resort ternama bersama dengan pengawal yang selalu setia menemani kemanapun Ia pergi.

Suapan demi suapan ice cream meluncur ditenggorokkannya sampai habis tak bersisa. Dua mangkuk bekas ice cream di atas meja tidak menghentikan gadis itu untuk memberi isyarat pada pelayan. Sementara pengawal yang merangkap sebagai asisten pribadi itu sigap memberi isyarat yang berlawanan.

"Sudah cukup, Nona. Besok Nona harus menghadiri kencan buta" ucap pengawal sekaligus asisten pribadinya.

Gadis itu menoleh, "Lagi?" tanyanya.

Pria yang duduk di hadapan gadis itu mengangguk sambil menyerahkan tablet dengan layar yang menunjukkan biodata seorang Pria.

Gadis itu menggeleng dan kembali sibuk dengan novelnya. Baginya, tidak berguna membaca tulisan-tulisan membosankan itu. Toh semua akan berakhir seperti biasanya, seperti sebelum-sebelumnya.

Jika bisa diberi gelar, Ia sudah mendapat ratusan gelar dan menjadi ahli kencan buta.

Kalau bulan terdiri dari empat minggu, tiga sabtu pertama adalah jadwal kencan buta yang direncanakan dan disusun oleh sang Ibu. Lalu, sabtu terakhir adalah hari bebas. Menginap di rumah sahabat yang bernama Skyla, berpergian dengan teman kampus atau sekedar bersantai. Kebebasan itu Ia peroleh setelah melalui proses panjang, usai mengajukan permohonan keringanan yang akhinya disetujui oleh kedua orang tuanya.

Sayangnya, tidak ada yang tahu. Kegiatan akhir bulan yang diperjuangkan oleh gadis itu memiliki satu tujuan rahasia. Tujuan yang hanya dia, Skyla, dan Tuhan yang tahu.

"Ini terakhir?" ucap gadis itu yang tiba-tiba saja menutup novelnya.

Pria itu mengangguk, "Terakhir untuk bulan ini".

Mata gadis itu berbinar, bibirnya menyunggingkan senyum manis, "Gio sabtu depan mau kemana?".

Pengawal yang bernama Sergio itu menerjapkan matanya. Tiap kali ditanya seperti itu, Ia selalu kesulitan menjawab. Ia tahu bahwa apapun yang diucapkan akan langsung disetujui oleh gadis itu.

Sergio meraih novel yang tergeletak di atas meja, meletakkannya ke dalam tas bersama dengan tablet, kemudian mengeluarkan jas berwarna hitam.

"Kita harus pulang" ucapnya selagi mengenakan jas hitam pada gadis itu. Salah satu cara Sergio untuk menghindari pertanyaan.

Gadis itu mendengus gusar, sudah hafal diluar kepala dengan tingkah laku Pria di depannya. Tapi, Ia bukanlah gadis yang mudah menyerah.

"Taman rekreasi? Gunung? Pulau? Bar? Club? Hu-"

"Nona! Jangan sebut tempat seperti itu" ucap Sergio menghentikan ucapan gadis itu.

Gadis yang ditegur merengut kesal, "Hampir semua tempat sudah pernah kita kunjungi, cuma Bar dan-".

"Eliana" ucap Sergio lagi-lagi menghentikan ucapan gadis di depannya.

Gadis yang bernama Eliana itu tersenyum puas, dibalik tegurannya Eliana puas karena Sergio baru saja memanggil namanya, tanpa embel-embel Nona.

Mereka sudah kenal sejak kecil. Sergio selalu bermain dan menjaga Eliana hampir setiap hari, kecuali hari minggu. Berkali-kali Eliana ingin menghapus panggilan formal itu, tapi Sergio bersikeras karena prinsipnya untuk bekerja secara profesional.

Dengan semangat penuh dan rasa bahagia yang bergejolak, Eliana menjawab "Ya?".

Mendengar nada Eliana yang ceria membuat Sergio menghela napas dalam-dalam berusaha menelan emosinya, tidak sampai hati membentak gadis itu.

MEMBIRUWhere stories live. Discover now