20: Gumpalan Kotor

2 2 0
                                    

Berat, penuh beban. Gerakannya lamban tiap kali tersapu angin. Warnanya menggelap, benda yang semula seputih kapas semakin lama semakin terlihat kotor. Semakin kotor, semakin penuh beban, semakin lamban, namun tetap bertahan mengikuti arah. Mungkin, karena Ia tidak sendirian. Mungkin, Ia punya alasan dan tujuan.

Sebuah cahaya muncul di antara benda gelap itu. Cahaya yang disusul dengan suara gemuruh. Kilat itu muncul berkali-kali, suara gemuruhnya bersahutan, memekakkan telinga. Semakin lama, terdengar semakin keras. Semakin lama, terasa semakin dekat.

Gadis itu mundur satu langkah, tubuhnya bergidik ngeri. Meski takut, Ia enggan mengalihkan pandangannya demi melihat proses alam itu.

Tak lama, air itu muncul. Bukan, bukan tetesan air yang lembut. Bukan pula tetesan air yang tipis dengan suara menenangkan. Bagai kran yang dibuka penuh, bagai bak air yang tumpah, air itu mengucur deras.

Tik.. tik.. tik..
Suara itu muncul tiap kali menghantam kaca besar di depannya. Menghantam, jatuh, lalu mengalir. Hingga kaca itu beralih fungsi, bukan untuk menyuguhkan pemandangan, tapi sebagai penghalau hujan. Tameng dari tumpahan kotoran yang menggumpal.

Bukan hanya air, kilat dan gemuruh. Kini angin ikut serta. Tanpa undangan, tanpa aba-aba.

Gadis itu meringis, melihat ke empat elemen itu bersatu demi menyakiti benda-benda di bawahnya. Menghantam, menusuk, mendorong, mengancam.

Mengerikan. Lain kali, jangan biarkan itu menjadi gumpalan, tumpahkan saja tiap kali merasa berat. Apapun alasan dan tujuannya, Ia terlalu banyak menyakiti.

"Sepertinya sudah masuk musim hujan" suara itu terdengar dari sampingnya.

"Sepertinya begitu" ucap gadis itu tanpa mengalihkan pandangan.

Keduanya sedang berada di cafe langganan Sang Putri. Bedanya kali ini bukan di balkon, tapi di ruang tertutup berkat awan gelap itu.

"Gio.." panggilnya.

"Ya, Nona?" jawabnya.

Sang Putri menoleh pada sosok yang baru bergabung dengannya. Mungkin ini saatnya, supaya Ia tidak menjadi awan yang mengerikan itu.

Pria itu mengikuti, mempertemukan netra keduanya. Ia tersenyum, menunggu Sang Putri.

"Gio.." gadis itu memejamkan matan, menelan air liur, menghela napas panjang, sibuk meyakinkan diri sebelum memulai.

"Ini masalah, El.. tanggung jawab, El.. perasaan, El.." jeda sejenak. Ia melihat pupil Sergio yang bergerak, sedikit terkejut dengan topik serius yang terlalu tiba-tiba.

Gadis itu tersenyum, berharap senyumannya bisa meyakinkan sosok di depannya. "Gio ngga perlu pusing, ngga perlu mikirin apa-apa, ngga perlu takut" lanjutnya.

Perlahan Sergio mulai terlihat tenang, "Semuanya akan tetap sama. Gio tetap jadi teman, El. Kita cerita, main bareng, sedih bareng".

"El percaya sama Gio, Gio juga percaya sama El" lanjutnya masih berusaha mempertahankan senyum.

"Ngga ada kebohongan, ngga ada pengkhianat, ngga ada dendam, ngga ada sakit" lanjutnya.

Netranya meredup, napasnya berat. Gadis itu tersenyum, berusaha menenangkan Pria di depannya. "Ngga ada yang berubah, semuanya akan sama, seperti dulu" lanjutnya.

Tidak ada tanggapan, tidak ada pula gerak tanda persetujuan. Pria itu mengalihkan pandangan, melepas tautan keduanya. Pandangannya beralih menuju kaca penuh tumpahan air.

Gadis itu menunduk, menyesali diri. Kalau saja gerak-geriknya tidak terlalu mencolok. Kalau saja perasaannya tidak terlihat jelas. Sergio tidak akan tahu. Mungkin, rencananya akan bertahan sampai puluhan tahun ke depan.

MEMBIRUWhere stories live. Discover now