Dua Puluh Enam (II) 🌫️ Runtuhnya Negri Ajaib

269 88 80
                                    

Challenge:
Masukkanlah sebuah lagu ke dalam satu chapter cerita kalian. Boleh beserta lirik, atau karakter yang menyanyikan.

Jangan lupa putar lagu di mulmed
⊂((・▽・))⊃

Biar makin nyeseq bacanya.

Enjoy
Happy reading!

Sesak di dada membuntuti langkahku yang mengendap-endap melintasi pintu demi pintu rumah sakit

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Sesak di dada membuntuti langkahku yang mengendap-endap melintasi pintu demi pintu rumah sakit. Tak beralas kaki, kuterjang dinginnya malam dengan piyama.

Mataku masih berair, dan aku enggan menghapusnya. Terbayang skenario singkat di kepalaku kala kami bertemu nanti. Aku mau lompat ke arahnya, atau minimal meninju rusuknya.

Pasien-pasien mulai sepi tatkala kulintasi bagian belakang rumah sakit. Kian sepi pula setelah kulewati pintu belakang. Tak ada yang melihatku, mungkin, sebab ini tahun baru.

Udara sejuk menyapaku, berdesir pelan di bawah kelamnya malam kelabu tanpa bulan dan bintang. Aku harus cepat, sebelum hujan membasahi balutan di tangan kiriku.

Sejenak, aku celingukan sendirian di antara bangku-bangku yang tersusun rapi disinari lampu taman. Tolong jangan bilang Candala hanya main-main. Di mana anak itu? Netraku menyapu sekitar dengan cepat.

Wahai cahaya ... harap taklukkan
Gelap yang kerap, datang hampiri
Selimuti hari memekik menguasai.

Mataku berhenti pada sosok berkemeja ivory polos di salah satu bangku taman. Kedua tangannya bersembunyi di balik saku celana panjang, berdiri menungguku di bawah sorot lampu redup.

Dadaku kian sesak lagi melihatnya tersenyum simpul ke arahku.

Tahan ... jangan menangis, Nadir.

Kudekati dia perlahan sembari memeluk diri sendiri kedinginan. Namun, entah mengapa perasaanku berbeda kali ini. Seakan, semakin terkikis jarak kami, semakin jauh pula perasaanku menggapainya.

Tak bisa jamah ... langkah-langkah ... mu yang tertampak
Kumulai malu, tersipu, kumalu mu terurai canda-canda.

Hingga kami benar-benar berhadapan. Tingginya membuatku sedikit mendongak demi menatap matanya yang teduh.

Aku kehilangan kata-kata. Semua dialog yang sudah kususun saat perjalanan kemari hilang begitu saja. Tubuhku mematung, menggigit bibir mencegah air mataku tumpah.

Tahan, Nadir. Jangan menangis.

"Hai," sapanya, mendaratkan telapak tangannya di puncak kepalaku.

Menatapi senyuman yang terlihat saat itu
Detik itu juga kuberhenti berkhayal
Seperti semua terjadi.

CANDALA [TAMAT]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora