Empat Belas ☁️ Drama Anak Remaja

279 111 26
                                    

Ini adalah minggu terakhir kami menetap sebagai kelas sepuluh

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ini adalah minggu terakhir kami menetap sebagai kelas sepuluh. Juga hari terakhir tiga teman sekelasku bersekolah di SMA Negeri favorit ini. Gosal, Rina, dan Keenan akan pergi untuk pertukaran pelajar di sekolah Candala sebelumnya.

Untuk pertama kalinya, kulihat Giam memeluk kembarannya erat-erat, menggelayuti punggungnya, mengekori Gosal ke mana-mana sampai dia terpisah dari Jamal dan Abidine. Semisal kembarannya adalah perempuan, mungkin sedikit wajar menghawatirkan Gosal. Namun, mereka berdua, 'kan, laki-laki!

Senin lalu aku lupa mengambil payung lipatku sepulang sekolah, Dala pun demikian, tetapi bukan itu yang akan aku bicarakan kali ini. Kelas akselarasi diliburkan belajar sehari. Berkat apa? Pertama, upacara perpisahan dan pidato lima siswa yang akan pergi ke Jakarta. Kedua, setelah mendengar amanat upacara yang masuk telinga kiri keluar telinga kanan, OSIS dengan senang hati menggelar stand dan menaikkan hiasan panggung. Class meeting pertama di tahun ini akan dimulai.

Sayang sekali Gosal, Keenan, dan Rina harus pulang tanpa merasakan class meeting terakhir. Mereka akan bersiap mengangkut barang dan pergi ke bandara jam 9 nanti. Pak Faruq yang akan mengantar mereka sebagai perwakilan dari sekolah, sebab kami tidak diizinkan keluar dari gerbang selama bel pulang belum bernyanyi.

Dengan begini, resmilah sudah kelas akselerasi hanya memiliki tujuh orang siswa. Bila menangisi kepergian Rina, tetapi dia bilang itu adalah tangisan bahagia karena sahabatnya akan pergi ke tempat yang lebih baik-agak ambigu memang kalimatnya, disangka anak orang dipanggil Tuhan. Giam pun demikian, tetapi dia berusaha menutupinya dengan menepuk-nepuk pundak saudaranya dan berkata, "Kelak kita akan bertemu lagi, Bung."

Keenan satu-satunya dari kelima orang yang akan berangkat ke Jakarta tanpa perpisahan alay-alay. Dia mengarahkan kameranya bersama tripod di tengah lapangan setelah upacara, kemudian berseru kencang-kencang menyuruh semua orang menyingkir. "Foto dulu sekali, biar taun depan bisa bikin recap perbedaan pas kita lulus." Astaga senyumnya manis sekali, seakan tak ada penyesalan meninggalkan kami di sini. Pun pada sahabat karibnya sejak lama, Jamal, mereka hanya beradu tinju dan saling menepuk punggung.

"Aku nggak menerima kalau yang kembali padaku adalah seorang pecundang," kata Jamal sambil tersenyum miring, menyambut kepalan tangan Keenan.

Persahabatan laki-laki sedikit berbeda dari para perempuan. Mereka tak perlu banyak pembuktian seperti gelang persahabatan atau pesta bantal. Para lelaki hanya perlu kopi, bertukar aspirasi, dan jajan di angkringan. Besoknya bisa kalian lihat sendiri, kalau mereka makin dekat maka, sebuah hubungan mulai terbentuk.

Nah, kami berpamitan tepat sebelum CM dimulai, orang tua mereka sudah ada di depan gerbang. Setelah itu, baru aku menghela napas lega. Sejak dulu aku tak pernah menyukai perpisahan, bukan orangnya yang kutangisi, tetapi perasaan dalam dadaku sendiri. Sesuatu itu mengganjal di ulu hati, bertahan lama hingga beberapa hari ke depan sampai aku lupa sendiri. Paham tidak? Mungkin aku hanya tidak siap untuk perubahan.

CANDALA [TAMAT]Where stories live. Discover now