Tiga ☁️ Ayo Mulai

545 177 17
                                    

Hari pertama sekolah di tahun ini diawali dengan hujan badai serta petir

ओह! यह छवि हमारे सामग्री दिशानिर्देशों का पालन नहीं करती है। प्रकाशन जारी रखने के लिए, कृपया इसे हटा दें या कोई भिन्न छवि अपलोड करें।

Hari pertama sekolah di tahun ini diawali dengan hujan badai serta petir. Baguslah, setidaknya aku tak perlu repot-repot pakai topi dan mengacak-acak rambut yang sudah kutata rapi. Lebih khidmatnya lagi, Pak Faruq memberi jam kosong selama mata pelajaran Fisika.

Wali kelasku itu hanya mampir untuk menyapa, juga memperkenalkan siswa baru yang akan bergabung dengan kelas kami sampai lulus tahun depan. Pak Faruq segera pergi setelah membagi rolling tempat duduk baru dan mengancam gondrong Jamal. Tiga jam pertama sampai istirahat adalah mata pelajaran Fisika, dan Pak Faruq rupanya sungguh-sungguh memberi kami jam kosong dengan syarat tidak ada yang keluar kelas dan tetap tenang.

Pertukaran pelajar dari luar daerah memang sering sekolah kami lakukan. Hanya beberapa anak yang terpilih, termasuk Rina, Keenan, dan Gosal, mereka bakal pergi Februari nanti. Sebagai gantinya, masuklah anak laki-laki tadi ke kelas kami—siapa tadi namanya, Dala?

Siapapun anak itu, dia sedang duduk di sebelahku dan membuat seluruh populasi kelas menggerombol di meja kami—paling belakang, paling ujung, karena hanya lima baris meja yang dipakai, dua berpasangan, satu sendirian. Kurasa ini lebih baik, punggungku tak lagi menghalangi yang lainnya saat melihat soal atau catatan di papan tulis, dan hal tersebut bisa menghindarkan diriku dari berbicara dengan orang lain—meski harus duduk terpisah dari Abi si penerjemahku.

Kalau kalian bertanya, kenapa ada lima baris meja dan kursi di tempat ini, padahal yang diisi hanya separuhnya? Itu karena jumlah murid akselarasi terus berkurang. Bulan Oktober kemarin ada dua puluh anak yang mengisi kelas. Tiap bulannya selalu ada yang mengundurkan diri karena tidak kuat dengan banyaknya tugas dan ulangan dadakan. Yang tersisa hanya kami, masih bertahan di tengah depresi.

Nah, ketimbang dikerumuni anak-anak itu, kusambar buku gambarku dan pergi ke depan kelas. Lebih tenang, lebih sejuk, dan tidak pengap. Kutarik napas dalam-dalam, menyelonjorkan kaki di lantai sebelum mulai menggoreskan arang pensil banyak-banyak sebagai sketsa kasar.

Sekilas kulirik mereka dari kejauhan. Kadang aku berpikir, bagaimana orang-orang di belakang sana mau berteman, maksudku, adakah keuntungan? Bukan berarti aku tipe orang pilih-pilih teman yang kaya saja, itu kekanak-kanakan. Aku memilih teman berdasarkan pengaruhnya, apakah dia berdampak baik atau justru sebaliknya padaku. Poinnya adalah menganggap mereka sebagai makhluk sosial.

Apa itu makhluk sosial? Makhluk yang tidak bisa hidup sendirian dan membutuhkan teman atau partner, kau dan tetanggamu misalnya. Beberapa hubungan menjadi dekat hingga disebut sahabat, lantas menjuluki bahwa mereka berteman tanpa memandang apapun, tanpa faktor benefit. Itu tidak benar. Semua hubungan pasti memiliki benefit. Sekalipun misalnya mereka adalah teman SMA dan kau sudah lulus kuliah saat ini, kalian tetap berteman karena masing-masing sudah mengenal dekat dan tahu lebih banyak ketimbang teman barumu. Itu memudahkan kalian berkomunikasi—gibah lebih tepatnya. Itu termasuk kepentingan dan benefit.

Mataku kembali pada sketchbook yang gambarnya belum sempurna. Kutatap ogah-ogahan sketsa kasar wajah dan anatomi itu beberapa menit. Jauh di dalam hatiku, ada secuil rasa ingin memiliki teman. Namun, sampai sekarang aku belum menemukan yang cocok. Bahkan satu-satunya temanku dari SMP yang berada di kelas reguler bukanlah tipeku—tipe yang bisa diajak berdebat dalam diam dan bertukar isi pikiran tanpa bicara.

Sekali lagi kulirik sembilan makhluk di mejaku, mereka cekikikan di sekitar Dala. Rasanya aku takkan pernah berlaku seperti itu. Namun, sampai kapan aku akan menjadi apatis yang tak peduli orang lain? Sampai kapan aku akan menyendiri?

CANDALA [TAMAT]जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें