Sembilan Belas ☁️ Hilang Dalam Peluk

202 92 17
                                    

Hanya kerlap-kelrip lampu jalan dan kendaraan yang terlihat dari tempatku duduk sekarang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hanya kerlap-kelrip lampu jalan dan kendaraan yang terlihat dari tempatku duduk sekarang. Memandangi jendela gelap sambil melamun di atas ranjang memang paling asik kalau sudah malam.

Sungguh, liburan di Jogja dua hari adalah refreshing terbaik. Otakku benar-benar lepas dari masalah yang lalu-lalu. Sekali lagi, aku masih tidak menyangka bahwa kami sekelas akan pergi jauh dari rumah cuma buat jalan-jalan macam turis.

Meski nyaris tiga perempat hari ini hanya kuhabiskan mengikuti enam cowok dan seorang gadis puber cuci mata, itu sudah lebih dari cukup untukku melepas penat. Baru kali ini Pak Faruq menunjukkan sisi kekanak-kanakan di depan muridnya. Beliau dengan semangat berseru meminta Bila mengambilkannya foto bersama seorang cosplayer di nol kilometer.

"Gila, wali kelas satu itu bener-bener menuh-menuhin memori HP," keluhnya di belakangku, mengutak-utik ponsel. "Kupikir Pak Faruq tipe cowok yang kalem bin cool gitu, lho."

Aku berbalik, bersila menghadapnya. "Mungkin dia capek jadi ganteng. Mumpung nggak ada yang liat, ya begitulah jadinya," timpalku asal sebelum merebahkan diri.

Kamar kami cukup besar. Sebenarnya muat untuk empat orang, tetapi karena perempuan hanya dua di kelas kami, ya mau bagaimana lagi? Hotel yang kami singgahi terletak di dekat Malioboro, berjarak beberapa ratus meter dari Mirota batik, masuk ke jalan kecil kampung yang bersih, dan kalian akan menemukan hotel bercat putih bersih dengan banyak bunga di depannya.

Dari lantai tiga, bisa kulihat ramainya lalu lintas kota Jogja, meski hanya lampunya saja. Kota ini seakan tak pernah tidur sangking terangnya. Salah satu yang kusuka di sini adalah suasananya yang nyaman dan bersahabat. Udaranya lebih segar, dan masih banyak tempat terbuka cantik seperti Monumen Serangan 1 Maret di depan Bank Indonesia.

"Kau nggak laper?" celetuk Bila, ikut merebah dempet denganku.

Ini masih pukul tujuh. Pulang dari alun-alun tadi, Pak Faruq mengusulkan balik ke hotel dulu. Menunggu magrib usai sebelum mencari makan malam di luar. Mungkin sebentar lagi para laki-laki akan mengetuk pintu dan menyeret kami turun.

Ngomong-ngomong tentang laki-laki ... sehari tanpa bicara dengan Candala benar-benar terasa sepi. Walau Bila terus-terusan mengajakku berlarian sana-sini, berbisik betapa ramahnya cowok-cowok di Jogja, tetap saja ada yang kosong di dadaku. Sensasi bicara dengan Dala memang tak pernah kudapatkan saat bicara dengan orang lain.

Bila adalah tipe pembicara yang lebih dominan. Kalau bersisian dengannya, aku lebih sering menjadi pendengar, jarang berkomentar. Sementara Dala dan aku mungkin satu tipe. Kami hanya bicara yang perlu saja, atau topik random yang tiba-tiba terlintas bersamaan. Tidak ada yang mendominasi di antara kami. Ditambah lagi, kami langsung mengerti maksud satu sama lain, tak usah bertanya-tanya apa maksudnya.

Mendadak aku merasa bersalah sudah membuatnya diam dan sungkan bicara denganku. Semua ini, hanya karena aku tidak terima dia mengkritisi hubunganku dan ibu. Dala terlalu perasa belakangan ... kenapa aku tidak terima dengan itu? Bukankah menjadi seperti apapun Dala ... adalah hak-nya?

CANDALA [TAMAT]Where stories live. Discover now