Dua Puluh Enam (I) 🌫️ Banting Genre

194 90 70
                                    

"Ayahmu lagi dikejar

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Ayahmu lagi dikejar." Jamal menutup pintu rapat-rapat setelah memastikan tidak akan ada tamu lagi yang membesukku malam ini. "Dia takkan mampu menjelaskannya secara langsung, maka dia meninggalkan ini dan memintaku menolongmu." Jemari panjangnya mengangkat sesuatu dari kantong celana panjangnya.

Sebuah kotak merah ... tidak, itu wadah cincin kawin berukuran lebih kecil.

Tunggu ... Ayah tidak berniat membuatku ta'aruf dengan Jamal, 'kan?!

"Ayahku dikejar apa-dia tidak jadi penagih hutang atau bagaimana, 'kan?" tanyaku was-was, melirik Abidine meminta penjelasan. Bagaimana bisa Jamal kenal dengan Ayah? Perasaan aku tidak pernah mengenalkannya.

Jamal mendekat, pun Abidine yang menjadi batas antara kami di dipan. "Tidak, Bung. Kau penasaran apa pekerjaan ayahmu, 'kan? Nah, kalau itu aku bisa bantu jelasin." Diletakkannya kotak merah itu di sofa panjang yang menghadap kami.

Layar transparan secara otomatis mengeluarkan cahaya dari kotak itu hingga membentuk wajah ayahku dengan rambut rapi ala dinasnya dan kacamata berbingkai hitam yang belum pernah kulihat dia pakai sebelumnya. Ini hologram, bagaimana bisa mereka memilikinya? Maksudku, mau beli motor ninja saja Ayah eman-eman uangnya, tapi ini?!

"Pake ini, Nad." Tangannya menyodorkan headset bluetooth.

Kuterima dan memasangnya cepat sebelum ketinggalan informasi. "Makasih." Hanya aku yang diberi. Jamal dan Abidine tidak ikut mengenakan.

Beberapa detik menunggu, kudengar ayah menghela napasnya singkat. Senyumnya raib, berbeda dari saat kami bicara empat mata. "Ayah minta maaf tidak bisa menyampaikan hal sepenting ini secara langsung, tetapi ini juga demi keselamatan kita, Nadir." Postur tubuhnya menegak, seperti bos besar menegur anak buahnya. "Mulai sekarang, Ayah mau Nadir mulai berpikir tentang kuliah. Tahan pertanyaanmu sampai kita bicara langsung, Ayah cuma mau merekomendasikan satu kampus tempat ayah bekerja."

Ayahku dosen?! Tapi mana ada dosen yang dinas ke luar kota? Jalan-jalan sampai Jakarta? Memangnya ada apa? Kenapa mendadak?

"Ingat Bilqis? Saudari tirimu, anaknya David? Dia berencana masuk Sekolah Tinggi Intelejen Negara. Ayah mau Nadir satu jurusan sama Bilqis." Pria itu memberi jeda sejenak, mengusap tengkuknya sejenak sambil memejamkan mata lelah. "Ini cuma opini. Ayah nggak maksa, tapi alangkah baiknya ikut anak itu."

Jangan bilang ayahku agen mata-mata seperti di komik Jepang yang baru kubaca? Ngomong-ngomong soal Bilqis, aku sudah lama tak mendengar kabar tentangnya setelah kematian ibu. Dia masuk STIN? Kalau dipikir-pikir lagi ... rasanya kurang masuk akal. Tinggi Bilqis bahkan tak sampai 155 cm, padahal persyaratan umum masuk kuliah kedinasan itu untuk perempuan minimal 160 cm.

Sebentar, meskipun aku secara tidak langsung mengatainya pendek, sungguh sama sekali tak ada dendam di antara kami. Walau dia anak angkat orang yang membunuh ibuku, dari raut wajahnya aku bisa memastikan kalau anak itu juga tidak suka pada David.

CANDALA [TAMAT]Where stories live. Discover now