Sebelas ☁️ Indra Spesial

315 120 20
                                    

Rumah sepi, ibu sudah pasti belum pulang jam segini

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Rumah sepi, ibu sudah pasti belum pulang jam segini. Cepat kubuka sepatu, menyimpannya di rak, lantas buru-buru ke kamar mandi demi meletakkan baju-baju kotor.

Aku mandi tanpa naik ke kamar lebih dulu. Kamarku juga masih dipenuhi kardus-kardus yang belum dibongkar. Hari ini, aku berencana membongkar semuanya dan menyusun ulang kamar lamaku. Rupanya, rambut ini masih sedikit lengket sebab di sekolah aku hanya membasuhnya tanpa sampo.

Kulempar tasku beserta isi-isinya begitu tiba di kamar. Satu-satunya tempat yang sudah rapi hanya bagian atas kasurku. Perlu setidaknya setengah jam untuk mengeluarkan semua barang-barang dari tumpukan kardus, memindahkannya ke lantai dengan posisi berantakan.

Kamarku yang macam bangkai kapal pecah itu baru benar-benar rapi setelah adzan magrib selesai berkumandang. Kali ini aku melempar diriku sendiri ke kasur dengan malas. Leherku pegal-pegal usai memasang lampu sendiri.

"Nadir?"

Jantungku seakan berhenti berdetak. Pemilik suara serak-serak basah yang pudar itu menepuk pundakku perlahan, menaiki kasur di sebelahku. Sudah lama aku tak mendengar nenek memanggil.

Kepalaku menoleh, mendapati ekstitensinya yang tengah tersenyum dengan sejuta kerutan manis. "Dalem²?" Aku ikut tersenyum, memiringkan tubuh agar bisa bersitatap dengannya lebih baik.

"Lama nggak pulang?" Nenek terkekeh-kekeh, beranjak duduk. "Mana ibumu?" Gelagatnya menunjukkan bahwa dia ingin sekali dipeluk cucunya, tetapi dunia tak lagi mengizinkannya.

Aku menyusulnya memperbaiki posisi. "Masih kerja, biasa pulang malam." Sepertinya aku lupa bilang pada kalian.

Ini rumah nenekku, ibu dari ibuku. Pemiliknya sudah meninggal sejak aku lulus sekolah dasar, menyusul sang suami yang pergi duluan setahun sebelum kematiannya. Yang kulihat di depanku ini hanyalah sisa-sisa kehidupannya. Suatu anugerah yang datang padaku sejak masih kecil.

Dulu, ibu pernah bilang padaku kalau kami pernah memiliki kucing bernama Hero. Setelah Hero mati, ibu masih sering melihatku kejar-kejaran sambil memanggil nama kucing kami. Aku pun ingat, saat itu Hero benar-benar tampak di mataku, kami bermain seperti biasa meski orang lain tak mampu melihatnya salto.

Begitu aku pindah ke rumah ayah, sisa kehidupan Hero tak mungkin kubawa. Dia lenyap bersama isak tangis yang keluar dari bibirku saat berumur empat tahun. Aku tak pernah melihatnya lagi sampai sekarang.

Empat tahun lalu, dan hingga saat ini, satu-satunya sisa kehidupan yang mampu kulihat hanyalah nenek. Kedengarannya melawan hukum alam saat aku masih bisa melihat nenekku yang sudah meninggal tetapi tak bisa melihat hantu-hantu jelek-aku tidak indigo atau anak seperti itu.

"Ayahmu?" tanya nenek tiba-tiba, beliau bangkit dengan mudahnya dan jalan pelan-pelan memutari kamarku, melihat ini itu yang sudah rapi.

"Kerja juga," jawabku sopan. Tak mungkin kubilang secara gamblang kalau mereka berdua sudah bercerai. Biarlah nenek menyadarinya perlahan, saat dia tak lagi melihat ayah masuk ke rumah ini, atau ibu membawa laki-laki lain.

CANDALA [TAMAT]Where stories live. Discover now