Dua Puluh Tiga ☁️ Menyusun Bintang

227 103 11
                                    

Seberapa kuatnya Dala membujukku, aku tetap tidak membuka mulut pada orang lain lagi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Seberapa kuatnya Dala membujukku, aku tetap tidak membuka mulut pada orang lain lagi. Bahkan untuk Pak Faruq. Empat hari sisa masa libur kami benar-benar kuhabiskan di atas ranjang seorang diri. Ayah tidak keberatan dengan pilihanku menjadi manusia gua, sebab dia tahu selama ini aku selalu bekerja keras menuntaskan nilaiku.

Hari-hari sibuk kembali tiba. Aku tidak bisa lagi berangkat bersama Dala ke sekolah. Ayah yang mengantarku menggunakan mobil kantor sekalian berangkat kerja, dan kalau pergi bersamanya, itu berarti aku bakal sampai di sekolah sebelum satpam membukakan gerbang.

Bukan masalah besar. Setidaknya takkan ada yang mengajakku bicara kalau matahari bahkan masih sembunyi di balik gedung-gedung tinggi. Aku memilih kembali pada hobiku, tenggelam dalam lautan kertas dan arang.

Bulan depan akan menjadi penentu apakah aku pantas masuk ke kelas akhir. Pertengahan September akan diadakan ulangan kenaikan kelas untuk anak akselarasi. Biasanya anak kelas reguler hanya ada ulangan semester ganjil dan genap, tanpa ada tengah semesteran. Itu artinya, aku harus belajar lebih banyak lagi dan mengejar materi.

Begitu gerbang dibuka, lekas-lekas langkahku ngacir ke kelas. Minggu ini kuniatkan untuk merangkum semua materi kelas sebelas, agar aku punya banyak waktu untuk latihan soal dan persiapan UKK.

Kuletakkan tasku, mengeluarkan isi seperlunya dan mulai mencatat. Lima belas menit yang tenang, sampai kudengar suara sepatu semakin dekat denganku.

"Wih, rajin, nih?" Suara centil khas anak perempuan yang sudah tahu dadanya montok, masih saja nekat pakai seragam ketat. "Lihat dong, kak." Jemari berkuku warna-warni itu menyambar buku tulisku tiba-tiba, membuat halaman yang sebelumnya kutekan menjadi lusuh.

Aku mendongak, merasa kenal dengan gadis yang kini duduk di ujung mejaku. Name tagnya terlihat jelas tanpa tertutup rambutnya yang panjang menjuntai. Rachel. Anak penyimpangan sosial ini lagi.

Gadis itu memegang bukuku dengan kedua tangannya erat-erat. "Kau tau, 'kan, kalo buku tuh gampang banget dibelah dua?" Seringainya mengembang. Kepalanya mendekatiku sampai tercium aroma pasta giginya. "Dan tulisanmu udah lumayan banyak di sini. Apa tidak sayang?"

Apa yang sebenarnya anak ini mau, sih? Tak kutundukkan kepalaku barang sekali saja, atau melepas pandang dari matanya yang cokelat berkat softlens.

"Ah, masih cuek seperti biasa." Dihempaskannya bukuku sembarangan, tangannya berganti mencengkeram daguku dengan sekali gerakan. Kuku-kuku tajamnya mengiris pipi dan leherku perlahan. "Makanya," dia tersenyum lebar mengerikan, "buatkan tugas sekolahku sampai kau lulus, ya! Atau kau mau kusuruh mereka masuk juga?" Jempolnya menunjuk jendela yang mengarah ke koridor kelas.

Kulirik sekilas, ada tiga laki-laki dan dua perempuan bersandar di jendela kelas. Mataku kembali lagi pada Rachel. Cukup sejurus, kubuat sarang setan itu menyingkir dari pipiku. "Ogah. Mending kau potong kuku biar bisa cebok."

Aku berdiri, menyingkirkan dirinya dari jalanku untuk mengambil buku tulis yang tadi dibuangnya. Apa-apaan memintaku mengerjakan tugasnya segala? Dipikir aku pembantunya? Sinting.

CANDALA [TAMAT]Where stories live. Discover now