Delapan ☁️ Jalan-jalan Sore

314 147 41
                                    

Warning!

Terdapat adegan kekerasan pura-pura dan bahasa kasar. Pembaca yang Budiman dan Budiwoman, jangan meniru, ya. Nanti mamak marah.

Kata-katanya barusan membuat tengkukku merinding dan hendak muntah di koridor kelas. Isi perutku terasa diaduk-aduk. Itu cringe, alay, dan terlalu dini untuk anak remaja 17 tahun.

"Berhenti bicara padaku," desisku setelah Bu Heni masuk dan menjelaskan stoikiometri.

Gigiku bergemeletuk di dalam pipi, ingin sekali rasanya kubentak dia dengan kalimat sarkas hingga Dala tak lagi mau menempel padaku. Padahal baru beberapa menit lalu kami bertukar buku gambar. Kutelan niat itu mentah-mentah dengan alasan tertentu.

Maka seharian itu juga kami tak berkomunikasi. Baik dengan kata-kata maupun gestur tubuh. Kepalaku bisa menyerap pelajaran dengan lebih cepat, kucatat kembali semuanya di buku catatan meski berantakan. Aku harus fokus untuk ulangan-ulangan lainnya setelah ini.

Kami telah memasuki bulan Februari, yang artinya akhir bulan ini kami sudah kelas sebelas. Aku tidak mau dikeluarkan dari kelas akselarasi, itu akan memperlambat kelulusanku dan penerimaan universitas. Sama saja menghambat jalanku merantau jauh-jauh dari kota ini.

Keputusanku pindah bersama ibu memang bukanlah hal terbaik. Wanita itu sering mengabaikanku, dia lebih mementingkan pekerjaannya ketimbang melihat putri semata wayangnya beranjak dewasa. Yang kuharapkan darinya adalah kasih sayang seorang ibu, menguatkan diriku meski dia dan suaminya berpisah.

Biarlah, tak ada gunanya memikirkan itu berlarut-larut. Lusa aku akan mulai tinggal di rumah lama, rumah nenek dari ibuku, hanya kami berdua, dan jaraknya lebih dekat dari sekolah.

"Ayo makan," ajak Dala setelah kelas bubar.

Pukul empat sore, langit masih cerah berkawan awan tipis dan bulan yang sudah malu-malu bersemu kelabu. Koridor sudah sepi sebab anak-anak kelas reguler sudah pulang satu jam lalu.

Aku hendak menggeleng, sedang ingin sendirian atau bertahan lebih lama di kelas. Teman sekelasku langsung ngacir keluar kelas menyambut kebebasan.

Dala melihat wajahku, kemudian kembali duduk dan meletakkan tas. Dia menopang dagu di meja sambil menatapku kosong.

Ayolah, apa sesulit itu permintaanku untuk sendiri? Pergi sana! Kepalaku benar-benar panas dan berat, mau kutenggelamkan
badan ini ke gentong es teh kantin.

"Ibuku," ujar Dala, "pergi saat aku masih merah." Kepalanya menunduk, tenggelam dalam lipatan tangan, menghadap ke arah yang berlawanan dariku. "Ayah mengurusku sendirian sebelum akhirnya menyerah dan menitipkanku di rumah anak."

Kenapa dia jadi cerita hal beginian? Aku jadi ikutan meletakkan kepala di meja dan menatap surainya yang lebat dari belakang.

"Kau tau, sedikit sekali manusia di dunia mampu mengingat memorinya tepat setelah dilahirkan." Kudengar kekehan dari bibirnya sekilas sebelum dia menyambung ocehan. "Tapi kalo bisa aku pengen milih jadi manusia umumnya."

CANDALA [TAMAT]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن