Tujuh Belas ☁️ Naik Kereta Api Tut Tut Tut!

218 106 49
                                    

Note:

Sebelum kalian scroll, alangkah baiknya baca bismillah dulu.

Kalau mata Anda sliwer abis baca part ini dan seterusnya, jangan salahkan saia '-')/ sebab diriku tak bisa ngetik teenfict yang baik dan benar.

Oh, ayo dong komen, biar saia semangat dan mau terus ngetik sampe tamat✨

Aku terbangun saat matahari tak tampak lagi dan gemericik air memenuhi pendengaranku

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku terbangun saat matahari tak tampak lagi dan gemericik air memenuhi pendengaranku. Oh, tidak. Ini belum malam. Mataku sempat melirik jam digital di sisi terdepan bis melewati puluhan kepala, masih menunjukkan pukul sepuluh pagi.

Rasa hangat mendadak melingkupi tubuhku dalam balutan jaket pastel yang kubawa dari rumah. Astaga enak banget, aku tak mau bergerak, terlanjur nyaman dengan posisi meringkuk di ujung tempat duduk.

"Masih belum bangun, eh?" Tempat kepalaku bersandar bergerak pelan.

Detik itu pula aku terlonjak kaget, lekas-lekas mendempet dinding bis di sebelah kananku. "SORI!" pekikku panik, tak begitu kencang sebab aku masih ingat kalau di bis ada banyak orang. Aduh! Bisa-bisanya aku enggak sadar itu bahu kanannya!

Dala masih di posisi duduknya yang normal, sambil menyungging senyum tipisnya. "Dua jam lho, Nad. Pegel leherku," lirihnya. "Sini, gantian!"

"Ogah!" Kubenahi diriku dan duduk seperti biasa lagi, lantas bersedekap. Tampaknya bukan aku saja yang terlelap sedari tadi. Abidine, Taufan, Bila, bahkan Pak Faruq juga tertunduk-tunduk. Sepupuku dan ketua kelas bahkan berpelukan di ujung sana, berbagi sarung dan earphone masing-masing di satu telinga.

Jalanan mulus, kusingkap tirai bis, mengintip keadaan di luar jendela, dan memang benar kami sudah di ujung tol.

"Hih, sini woi." Dala menarik bahuku agar mendekat dan menjadikannya sandaran kepala. "Bentar doang. Gor-nya udah deket."

Rasanya seperti mengemban dosa akhirat. "Kau sering ke sini, 'kan?"

Kepalanya bergerak di bahu kiriku. "Begitu keluar dari tol, Rumah Anakku bakal keliatan." Wangi parfumnya menyapa hidungku perlahan. Ah, bau cowok.

Selebihnya, aku memutuskan diam dan membiarkan Dala lelap sejenak. Pikiranku masih separuh bertahan di alam mimpi, dan mungkin lima belas menit pertama kuhabiskan untuk bengong tanpa berbuat apa-apa. Menit selanjutnya, barulah aku ikut meletakkan kepala di puncak kepala Dala.

"Kok kau ikutan tidur pula?" Tubuhnya miring ke arahku sambil melepas sepatu dan menaikkan kakinya ke posisi jongkok.

"Anget," jawabku.

:.:.:

Semuanya berjalan lancar. Kami turun di depan Gor kala awan gelap menyingkir. Pak Faruq memastikan tidak ada salah satu dari kami yang tercecer atau diculik om-om ibu kota. Pertandingan akan dimulai jam satu siang. Masih ada beberapa jam untuk kami foto-foto dan mencari jajan sebelum membeli tiket.

CANDALA [TAMAT]Where stories live. Discover now