Tujuh ☁️ Partner Lapangan

379 155 39
                                    

Seminggu setelah kejadian Teletubbies di taman kanak-kanak tua itu, kami kembali seperti biasa

Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.

Seminggu setelah kejadian Teletubbies di taman kanak-kanak tua itu, kami kembali seperti biasa. Banyak ulangan harian, banyak tugas, banyak beban hidup. Itulah tandamu menjadi remaja, karena anak-anak hidupnya memang lebih bahagia daripada kau. Jangan tersinggung, tetapi itulah faktanya, jangan dibantah.

Pak Faruq masih beranggapan bahwa kami tak saling cakap. Beliau seharusnya ikut kami nongkrong di kandang sapi kemarin lusa. Sejak hari itu, setiap pulang sekolah, Dala selalu menculikku ke tempat antah-berantah yang tak kutahu keberadaannya mewujud di muka bumi.

Ke mana pun Dala membawaku, kami hanya akan berakhir bisu. Menikmati pemandangan baru atau aku hanya menemaninya menulis rumus-rumus kimia, kemudian dia memintaku memasukkannya ke dalam botol kaca. Entahlah apa maunya, aku tak peduli—setidaknya aku jauh dari rumah.

Hari ini, pagi-pagi sekali Pak Faruq membanting pintu kelas. Tenang, memang tabiatnya begitu. Jangan khawatir dia tidak sedang marah, hanya kelebihan energi. Saat itu hanya ada aku dan Taufan di kelas.

"Pagi! Untuk praktikum kimia saya yang bagi kelompoknya. Berpasangan dengan teman sebangku." Matanya bergantian menatapku dan si ketua kelas. Lantas berhenti memelototiku cukup lama dengan senyum tipisnya.

Keningku mengernyit. Hah?

Kemudian Pak Faruq balik kanan bubar jalan sambil mendumal. "Bagaimana bisa anak-anak itu berkomunikasi tanpa bicara? Anak didikku alien atau makhluk apa, sih?!"

Wali kelasku memang seperti itu—seperti itu tidak jelasnya maksudku. Kadang beliau bisa sangat menyenangkan, sedetik kemudian dia menyebalkan. Satu waktu Pak Faruq pernah masuk kelas sambil menghentak-hentakkan kakinya macam anak kecil tidak dibelikan Kinder Joy. Setelahnya, kami ulangan harian fisika dengan soal setara 200g arsenik—mematikan. Tak tanggung-tanggung, beliau menjadikan kami kelinci percobaan soal kelas 12.

Kulonggarkan dasiku dengan telunjuk, kemudian mengubek-ubek tas demi mengeluarkan buku gambar. Harusnya aku berlama-lama saja di kamar, menyelimuti diri dengan selimut sampai matahari terbit seutuhnya. Tidak mau juga, sih. Rumahku jam segitu sudah ribut, kalah-kalah kebun binatang.

Lama nian aku tak menyentuhnya setelah komisi terakhir selesai kugarap. Jemariku jadi kaku memegang pensil. Satu persatu kucari halaman yang masih kosong, tetapi jempolku malah berhenti di halaman tak rampung.

Gambar pertama yang kubuat di awal tahun, hari pertama Candala masuk ke kelasku.

"Kau demen gambar juga?"

Aku mengangguk spontan, tanpa melihat siapa yang datang. Perlu beberapa detik untuk tersadar suara tadi berupa bisikan halus di telinga kiriku.

Candala sudah duduk manis, meletakkan tas dan ikut mengeluarkan buku gambar. Tangannya dikibas-kibas, menyuruhku mendekat. "Sini, ayo kita tukeran."

Kugeser bangkuku mendekat, menarik serta pensil dan buku padanya. Selama beberapa menit, aku hanya menonton Dala menggores-gores pensil. Mataku tak lepas dari caranya membuat sketsa. Kemudian dia berhenti, menyerahkan buku gambarnya padaku.

"Eh?" Jadi ini maksudnya tukeran.

Kuterima dengan senang hati. Pertama-tama kulirik jam dinding kelas, masih ada banyak waktu. Gambarannya hanya base pose unisex, dengan kata lain aku bisa dengan mudah membelok-belokkan gendernya.

Ah, rasanya sudah lama aku tak menggambar satu tubuh lengkap. Biasanya hanya bust-up atau mentok-mentok knee-up. Pesanan klien tidak pernah lebih dari itu, karena semakin utuh tubuhnya, makin mahal pula harganya.

Kuberi tokoh itu gaun mengembang, serta-merta pernik-pernik yang tidak terlalu cewek. Dala takkan suka gambarannya didominasi unsur wanita. Pose dasarnya adalah sosok—mungkin anak kecil—yang tengah berlari.

"Boleh kugambar ini?" Dala menunjuk buku gambarku yang terbuka di halaman tadi, gambar coret-coret laki-laki yang belum sepenuhnya selesai.

Aku mendongak. Aduh, rasanya mau lenyap dari dunia saat dia melihat gambar jelek hasil coret tanganku. Bodo amat lah. "Terserah." Tidak juga dia mau menghakimi diriku tentang bagaimana cara menggambar yang-baik-dan-benar.

Lima menit sekali, kami bertukar buku.

Lima menit kedua, karakter di masing-masing buku tak lagi telanjang.

Lima menit setelahnya, mereka tidak botak lagi.

Setengah jam berlalu cepat, tetapi sejak tadi kami tenggelam dalam hening dan lautan arang. Berapa kali aku menyerut pensil, menghapus ini itu, memperbaiki gambar kami. Tak ada satu pun yang berbicara, tetapi aku senang dia mengerti apa maksudku.

Kalau kulihat dari sisi kanannya, Dala memiliki rahang tegas dan bulu mata lentik. Aku terpana dibuatnya, lalu menggeleng seraya bergidik ngeri. Dia bakal serem kalo kesurupan, batinku.

Namun, selama ini memang Dala tak pernah menunjukkan emosi negatif. Padahal aku sering melihatnya dijahili Jamal atau Abidine, tetapi dia hanya tertawa dan membalas mereka dengan apa yang didapatnya.

Aku menunduk lagi, memerhatikan gambar laki-laki yang semula memberiku bebauan art block, kini sudah berkilauan dengan seragam SMA yang Dala buat. Gambar ini semakin mirip dirinya, dengan rambut lurus yang tergolong panjang, senyum lebar bermata tertutup, dan shading tegas. Aku suka.

Lima menit terakhir, sebelum pelajaran pertama dimulai, kami selesai. Kuregangkan jemariku, meletakkan pensil dalam kotaknya. Dala tersenyum lebar tanpa gigi, dia melihatku mengolet macam ulat bulu.

"Apa?" Kuangkat sebelah alis, menatapnya sinis.

Dia menggeleng. "Pulang sekolah main, yuk?" ajaknya seperti biasa.

Aku memutar tubuh, menghadap tas dan mengeluarkan buku paket kimia. "Ayo," jawabku. Belakangan, aku semakin tak betah di rumah. Dan Dala hadir membawaku kabur dari semua atmosfer tekanan dari tempatku pulang.

Saat Dala melakukan hal yang sama denganku, aku mulai berpikir bahwa aku tak selamanya bisa lari. Ibu dan ayah sudah sepakat dua hari lalu, bahwa mereka akan berpisah dan hak asuhku jatuh pada ibu. Kepala dan hatiku tak sejalan dalam memilih salah satu dari mereka.

Kepala ingin aku memilih ayah, sebab dari beliau aku bisa belajar banyak dalam segala hal. Namun, hatiku memilih ibu, sebab kami sama-sama perempuan dan hanya ibu yang mampu mengajariku bagaimana cara menjadi perempuan.

Aku dilema, sungguh. Yang kuinginkan hanya kami bisa hidup rukun lagi, seperti sedia kala. Kini, aku tak memiliki alasan untuk menangis. Melakukannya pun percuma, surat dari pengadilan sudah keluar.

Saat persidangan, aku menolak datang dan memilih kabur bersama Candala ke hutan dan main air di sungai. Pulang-pulang ibu marah sekali padaku, tetapi yang kulakukan hanya tutup kuping dan masuk kamar. Ayah berusaha membujukku perlahan untuk keluar dan makan malam bersamanya. Aku tetap tidak mau. Mereka berdua sama-sama menyebalkan.

Lusa, semua peralatanku di rumah ayah sudah habis. Aku tak mau mengucap salam perpisahan pada ayah, atau menggenggam tangan ibu selama perjalanan.

"Akan kubuat kau lupa dan berdamai."

CANDALA [TAMAT]Onde histórias criam vida. Descubra agora