Memang benar, perkataan Rana tapi itukan dulu. Bukankah manusia akan berkembang seiring dengan waktu? Yah seperti itulah Damar, lagi pula dulukan Onad belum tumbuh sempurna seperti sekarang, jadi wajar saja jika Damar mengabaikan Onadkan?

"Terserah dengan asumsimu itu, Ran! Aku tidak akan meluruskan toh kamu adalah manusia alergi fakta. Tapi apapun alibimu nanti tidak bisa menutupi fakta jika darahkulah yang mengalir pada tubuh Onad! Dan sebagai Ayah dari Onad aku bahkan tidak perlu izinmu untuk bisa berdekatan dengan Onad!"

"BU RANA! BU RANA!" Panggilan itu membuat perdebatan keduanya terhenti.

"Den Onad, Bu! Den Onad!"

Tapa pikir panjang Rana segera berlari ke luar rumah, disusul Damar di belakang. Lihatlah saking sibuknya berdebat keduanya tak menyadari jika Onad telah menyelinap keluar rumah.

"ONAD! KAMU DIMANA?"

"I'm hiel, Mama."

"MOBILKUU!" jerit Damar

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.

"MOBILKUU!" jerit Damar.

~Sejumput Dendam Rana~

Riuh gemuruh sang langit saling bersaut, bersamaan dengan handirnya rintik mata langit. Kombinasi yang ciptakan hawa dingin memilukan bagi mereka yang butuh pelukan, namun sadar hanya bisa memeluk angan.

Karena pada dasarnya sebuah pelukan takkan bisa menghangatkan, jika hanya sepasang tangan yang menginginkan.

Ibarat hati inginkan rembulan, namun apa guna jika sinarnya akan redup saat dalam dekapan? Bukankah lebih baik belajar mengikhlaskan dan tetap menikmati sinarnya dalam diam. Karena terkadang mengagumi tanpa memiliki lebih menyenangkan dari pada meminang namun hati terasa tertancap pedang.

"Mencintai sendirian itu menyakitkan,"

Wanita itu terdiam, melihat ke arah lelaki pemegang tahta tertinggi keluarga Maheswara yang kini terlihat lebih tertarik menatap pemandangan hujan dari kaca jendela, dibanding sang istri yang kini berdiri menantang tanpa sehelai benang.

"Sehina itukah aku di matamu, sampai kamu terkesan begitu enggan melihatku, Mas."

Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada kehadiran yang diabaikan. Haruskah berteman dengan kehilangan baru merasakan arti hadirnya seseorang?

Hembusan nafas kasar kini terlontar. "Seindah itukah pemandangan di luar sana, hingga kamu enggan berpaling meski sedetik, Mas?"

Wanita itu menghapus kasar setitik bening yang meluncur dari sudut mata. "Apa aku harus melebur dengan langit agar aku bisa mendapat kilau teduhmu itu, Mas?"

Mengapa mencinta sendiri harus sesakit ini? Tapi untuk terpukur mundur tak mungkin, bukankah Tuhan sudah menakdirkan semesta sesuai dengan porsinya? Sekarang yang dibutuhkannya hanya sedikit usaha tanpa tergesa. Bukankah tidak ada usaha yang berakhir sia-sia? Bahkan batu saja akan berlubang saat ditetesi air berterusan. Begitu pun hati sang lelaki yang kini masih beku, perlahan tapi pasti akan cair juga meski butuh ribuan purnama pun tak apa.

Sejumput Dendam RanaOù les histoires vivent. Découvrez maintenant