"Mencoba memanas-manasi seorang Damar, Rana?"

"Untuk apa memanas-manasi orang yang sudah terbakar sejak awal," ujar Rana sarkastik yang lagi-lagi mampu membuat Damar terpaku sesaat. Lagi-lagi Damar dibuat bungkam oleh Rana.

Namun tiba saatnya Damar akan bersuara, dirinya memilih mengurungkan kembali niatnya kala mendapati tangan kiri Rana sibuk menepuk-nepuk paha Onad, sedang tangan lainnya memegangi dot milik Lean. Sepertinya sepasang adik kakak itu hendak menuju ke alam mimpi.

Alih-alih beranjak, kini Damar malah memilih mendudukan diri di kursi. Mengamati calon istri yang sibuk dengan anak-anaknya. Jujur saja melihat Rana yang begini, amarah Damar yang tadinya membumbung kini lenyap tak bersisa.

Mungkinkah kata-kata kasar yang diucapkan Rana hanya untuk menguji seberapa tebal hati Damar? Karena nyatanya jika benar Rana membencinya, haruskah Rana bersikap sebaik ini pada Lean? Ralat bukan cuma Lean, Rana juga baik pada Nirmala. Bukankah itu sebuah bentuk pendekatan diri?

"Kenapa kamu sebaik ini dengan Lean?"

"Bukannya sudah sepatutnya sesama manusia memanusiakan manusia lain dan saling berbuat kebaikan? Mengapa harus heran dengan orang yang berbuat kebaikan? Tidak pernah diajari oleh Ibumu adab ke sesama manusia atau memang dasarnya manusia sepertimu hanya bisa berburuk sangka pada orang lain?"

Damar menggeleng, "Tapi kamu terlalu baik..."

"Bukan aku yang terlalu baik, tapi hatimu yang sudah terlalu menghitam untuk melihat ketulusan orang lain. Jadi kamu menganggap semua orang sama jahatnya seperti kamu,"

Helaan nafas kasar itu terdengar. "Kamu pikir aku tidak tahu apa yang kamu rencanakan dengan sapu tanganmu itu?" sinisnya.

Degh,

Seperti kata pepatah kaca tidak pernah berbohong, mungkin itulah gambaran yang tepat untuk saat ini. Pantas saja Rana terlihat biasa saja melihat kedatangan Damar, ternyata siluet tubuh Damar terpantul jelas dari kaca almari yang terletak tak jauh dari Rana mendudukan diri. Sungguh rasanya Damar seperti maling kepergok sekarang.

"Ran, ini tidak seperti yang kamu pikirkan." sangkal Damar membuat Rana terkekeh.

"Memangnya kamu tahu apa yang aku pikirkan?"

"Ran,"

"Jangan menutupi kebohongan dengan kebohongan lain!" desis Rana.

Jujur saja sekarang Damar sedang terpojok, tapi untuk mengakui kekalahan jelas tidak akan Damar lakukan. Mengakui kekalahan hanya akan membuat harga diri Damar turun. Lagi pula manusia jahat seperti Rana harus dilawan agar tidak terus semena-mena bukan? Rana harus segera disadarkan atas keegoisan-keegoisannya.

Kini Damar tertawa terbahak, "Memangnya aku harus apa? Mengakui kalau aku berencana membiusmu, iya?"

"Licik!"

"Bukan aku! Yang licik bukan aku, tapi kamu!" tunjuk Damar pada Rana.

"Coba saja kamu tidak membesarkan egomu itu, pasti keluarga kita akan menjadi keluarga yang sangat bahagia sekarang. Kamu tidak lihat kedekatan Onad dan Lean? Dan mereka terpisah karena siapa? Karena keegoisanmu, Rana! Seandainya kamu mengalah sedikit saja semua tidak akan serunyam ini."

"Gila!"

"Yang gila itu kamu! Lihat karena kegilaan kamu, dengan begitu kejam kamu membuat Onad melupakan Ayah kandungnya sendiri. Lihat Rana! Onad bahkan tidak mengaliku sebagai Papanya!"

Rana berdiri, menatap sengit ke arah Damar. "Onad bukan melupakanmu! Tapi Onad kebingungan apa yang harus diingatnya tentang kamu, sedangkan dalam memori Onad sama sekali tidak ada kebersamaan kalian! Ingat kapan terakhir kamu menemani Onad bermain? Ingat kapan terkahir kali kamu menggendong Onad? Ingat kapan terakhir kamu meluangkan waktu untuk Onad? TIDAKKAN? KAMU TIDAK BISA MENGINGATNYA KARENA KAMU TIDAK PERNAH MELAKUKANNYA!"

Sejumput Dendam RanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang