21. SENDIRIAN

104 27 7
                                    

Hampir satu minggu dan Kalani merasa lelah. Bukan fisik, melainkan jiwanya. Setiap hari harus menghadapi pandangan sinis hampir semua siswa. Termasuk teman-teman sekelasnya. Belum lagi teror melalui pesan singkat yang dia terima.

Meskipun sekolahnya sudah menerapkan program anti-bullying, tak menjamin jika perundungan benar-benar berhenti. Secara sembunyi-sembunyi atau secara pasif, perbuatan tidak menyenangkan tersebut masih terjadi. Sepertinya sekolah dan lingkungan sekitar harus benar-benar bekerja keras untuk menghilangkan perundungan.

Kalani menghela napas seraya mematikan ponsel. Dia baru saja mendapat ancaman melalui aplikasi obrolan dari nomor asing yang entah keberapa. Ingin rasanya tidak peduli, tetapi tidak bisa dipungkiri jika Kalani memikirkannya juga.

Setelah menyimpan ponsel di meja belajar, Kalani melangkah ke tempat tidur dan merebahkan diri. Hari ini dia absen ke sekolah hingga dua atau tiga hari ke depan. Bukan karena sakit atau mengalami cedera seperti sebelumnya.

Cewek itu hanya merasa memerlukan waktu untuk dirinya sendiri. Jauh dari lingkungan sekolah yang saat ini tak terlalu bersahabat untuknya. Semalam, Kalani sampai harus menangis ketika memohon kepada ibunya agar menuliskan surat izin kepada guru.

Ibu menanyakan alasan Kalani. Sehingga dengan berat hati, cewek itu menceritakan kejadian yang dia alami tanpa dikurangi satu pun. Ayah dan ibunya mendengarkan putri mereka yang bercerita sambil tersedu-sedu. Kemudian setelah selesai, Ayah memeluk Kalani dan menenangkannya. Dia pun berjanji akan membuatkan surat izin.

Ayah menepati janjinya. Pagi ini, sekalian berangkat kerja, orang tua Kalani tersebut mengantarkan surat izin Kalani ke SMA Sarasvati. Kalani sedikit lega. Namun, dia memilih mengurung diri di kamar usai sarapan. Akan lebih baik jika untuk sementara tidak berinteraksi dengan siapa pun. Termasuk ibunya.

Kalani tengah melamun ketika mendengar ponselnya berbunyi beberapa kali. Dengan malas, dia kembali bangkit dari berbaringnya dan mengambil benda tersebut di atas meja belajar. Perasaannya menghangat ketika membaca nama Kalila di layar ponsel sebelum menggeser ikon hijau.

"Mbak ...." panggil Kalila manja.

"Apa kabar, Dek?" sapa Kalila.

Bukannya menjawab, Kalani malah diam. Kedua matanya tiba-tiba berembun sebelum disusul isak perlahan. Rasanya sesak sekaligus lega mendengar suara Kalila.

"Kok malah nangis?" tanya Kalila dengan suara lembut khasnya. "Ada apa? Coba cerita sama Mbak."

Isak Kalani bertambah keras. Tubuhnya terasa lemas hingga merosot di sebelah meja belajarnya. Selama beberapa menit, dia menangis. Telepon masih tersambung dan Kalila hanya menyimak hingga adiknya menarik napas beberapa kali untuk meredakan emosinya.

"Maaf, Mbak," ucap Kalani susah payah.

"Nggak apa-apa," jawab Kalila. Entah mengapa, Kalani merasa jika kakaknya tersebut tengah tersenyum saat ini. Hal yang selalu Kalila lakukan bila menghadapi sang adik. "Jadi, mau cerita sama Mbak atau ... gimana?"

Kalani tak segera menjawab. dia memainkan ujung atasan piyamanya. "Aku kena masalah di sekolah," jawabnya.

"Terus?"

"Sama cowok," jawab Kalani. Kemudian terdiam lagi selama beberapa saat. Namun Kalila tidak mendesaknya untuk terus bercerita. Sepanjang yang Kalani ingat, kakak satu-satuya itu memang memiliki tingkat kesabaran yang luar biasa seperti ayah mereka.

"Jadi aku suka sama cowok. Dia kakak kelas aku." Kalani memulai kisahnya.

Dia menceritakan mengenai dirinya, Baskara, Awan. Hingga kesalahpahaman mereka beberapa hari yang lalu yang menyebabkan Kalani diputuskan secara sepihak dan berujung menjadi musuh sebagian cewek di sekolah.

Belum termasuk terror yang Kalani terima dari nomor-nomor asing hingga tindakan perundungan dari Kristi. Kalani kembali menangis saat bercerita hingga menyebabkannya mengambil jeda beberapa kali.

"Sudah. Nggak apa-apa." Kalila menenangkan usai Kalani menyelesaikan curahan hatinya. Kini sang adik melanjutkan tangisnya seolah kelenjar lakrimalnya tak kehabisan ion garam untuk memproduksi air mata.

"Kita nggak pernah tahu bakal menghadapi dunia SMA yang kayak apa," lanjut Kalila. "Yang terpenting kamu sudah berusaha membuktikan kalau nggak bersalah. Selebihnya, biar terbuka dengan sendirinya. Kita pasrah aja. Ya, Dek?"

"Tapi namaku udah jelek di sekolah," ujar Kalani di sela isaknya. "Cewek-cewek di sana pada bilang kalau aku tukang rebut pacar orang. Tiap lihat aku bawaannya curiga mulu, Mbak. Malah banyak yang menjauh. Takut pacarnya aku ambil."

Terdengar tawa kecil Kalila di seberang. "Namanya aja nggak ngerti, Dek," ucapnya. "Kamu tahu? Kadang, ada saatnya kita berhenti membuktikan ke semua orang kayak apa diri kita sebenarnya. Bukan untuk setuju sama pendapat dia soal kita. Tapi biar kita nggak buang energi percuma. Karena orang yang dari awal udah nggak suka sama kita, dia nggak akan mendengar apapun yang kita bilang. Sekali pun itu benar."

Kalani mengerucutkan bibirnya. "Aku capek, Mbak. Kayaknya sekolah udah nggak nyenengin lagi buat aku."

Terdengar hela napas Kalila. "Kamu yang sabar, ya," ucapnya. "Percaya aja. Ini cuma sebentar. Mbak yakin kamu bisa. Kamu adik Mbak satu-satunya yang luar biasa.

"Udah cantik, baik, aktif di organisasi, cerdas, dan bisa sekolah di salah satu SMA favorit Kota Malang yang nggak bisa Mbak tembus. Masalah kayak gini, nggak akan bikin kamu lemah."

Air mata Kalani kembali berderai. Namun kali ini disertai sebuah senyuman di bibir tipisnya. Kalila selalu tahu bagaimana membesarkan hati seseorang. Jika kakaknya itu berada di hadapannya sekarang, Kalani tak akan segan untuk segera menghambur ke dalam peluknya.

"Maaf kalau Mbak nggak ada di dekat kamu sekarang, ya," lanjut Kalila. "Mbak lagi ada project sama teman kampus. Nggak bisa ditinggal-tinggal. Paling nanti bisanya pulang setelah ujian semester."

"Nggak apa-apa, Mbak," ucap Kalani seraya menghapus air matanya. "Makasih ya, Mbak Lila udah telepon."

"Sama-sama. Mbak juga minta maaf baru bisa telepon sekarang. Kemarin lagi banyak tugas."

"Bukan karena teleponan sama yang di Ubud?"

"Nggak ada," bantah Kalila. Suaranya terdengar kesal. Namun entah mengapa membuat Kalani tersenyum simpul. Kalila selalu merasa tidak nyaman jika disinggung mengenai teman laki-lakinya yang berada di Ubud.

Usai menyemangati adiknya sekali lagi, Kalila mengakhiri komunikasinya. Dia harus ke kampus sebentar lagi dan tidak ingin terlambat. Kalani mematikan ponsel dan menyimpan benda tersebut kembali di meja belajar. Setelahnya, cewek itu terdiam sebentar di sisi meja belajarnya sebelum kembali beranjak ke tempat tidur.

Kalani hendak merebahkan tubuhnya kembali saat terdengar pintu kamarnya diketuk. "Lani. Ada temanmu, Nduk!" Terdengar suara ibunya berseru dari luar.

Cewek itu bangkit dari kasur dan membuka pintu kamarnya. Tampak Ambar dan Reva berdiri di depan pintu kamarnya masih dengan mengenakan seragam sekolah dan ransel di punggung masing-masing.

"Sebelum kamu tanya, hari ini ada rapat guru bersama pihak yayasan. Makanya sekolah bubar lebih awal," jelas Ambar tanpa basa-basi.

Reva yang berdiri di sebelah Ambar mengangkat sebelah tangannya yang menenteng kantong plastik berisi berbagai jenis makanan ringan. "Makanya aku sama Ambar langsung ke sini. Kita pesta snack hasil traktiran Ambar," imbuhnya.

***

Kalani lagi lelah, nih. Yuk kita peluk.

***

ADMIRER (SELESAI) Where stories live. Discover now