8. BAGAIMANA BISA?

145 37 35
                                    

Kalani menatap papan mading di hadapannya. Setengah tak percaya, dia membaca puisi yang konon dikirim untuknya. Kedua netranya menangkap ketikan di sudut atas kertas tersebut yang sepertinya tak ikut terpotret oleh pengirim di grup obrolan angkatannya.

'Teruntuk Kalani Senja Aruna, X-IPS-1.'

Baiklah. Kalani meralat teman-temannya yang mengetahui penerima puisi tersebut adalah dirinya karena menyebut nama 'Aruna'. Mungkin dia memang bukan satu-satunya yang bernama Aruna–walau kenyataannya demikian.

Ketikan di sudut atas tersebut lebih mungkin menjadi petunjuk kepada siapa puisi tersebut ditujukan. Pantas saja Kalani langsung disebut begitu foto puisi tersebut dikirim untuk kali pertama ke grup angkatannya.

Yang pertama terpikir oleh Kalani usai membaca puisi tersebut adalah, "Kok bisa?" gumamnya sambil berjalan menuju ruang OSIS.

Ya. Bagaimana bisa? Tepatnya bagaimana bisa ada yag mengirim puisi untuknya? Harus Kalani akui, puisi itu menyentuh perasaannya. Namun daripada merasa tersentuh, dia lebih merasa penasaran.

Siapa pengirimnya? Seperti apa orangnya? Dari kelas mana? Angkatan berapa? Apakah dia cowok atau cewek? Cowok sepertinya. Namun lebih daripada semua pertanyaan tadi, apa yang orang itu lihat dari Kalani?

"Lima menit." Sebuah teguran segera menyambut Kalani saat dia memasuki ruang OSIS.

Tampak Awan menatap tajam dari kursi kebesarannya yang bersebelahan dengan Baskara. Tidak. Bukan hanya Awan. Hampir seisi ruangan tersebut menatam tajam pada Kalani yang baru memunculkan diri. Termasuk Mikayla yang duduk dekat dengan Baskara bersama laptopnya.

"Ma-maaf, Kak," ucap Kalani tergagap seraya membungkuk singkat. Sungguh tidak menyenangkan terlambat di hari pertamanya sebagai anggota OSIS.

"Udah, Wan. Nggak apa-apa," sahut Baskara menenangkan.

"Kok kamu malah belain dia sih, Bas?" Mikayla menatap cowok eksotis tersebut tak suka.

Baskara menyunggingkan senyum berlesung pipinya. "Bukan belain, Ka. Ini 'kan hari pertama buat semuanya. Toh Kalani bukan satu-satunya yang telat. Rara juga baru datang karena harus bantu bawa tugas ke ruang guru."

Rara hanya menyunggingkan senyum tipis dari tempatnya. Sementara Kalani masih belum beranjak dari depan pintu masuk ruang OSIS. Terlihat Awan menghela napas kesal, lalu menatap Kalani kembali.

"Saya toleransi buat hari ini," ucap Awan. "Tapi selanjutnya, jangan harap kamu bisa ikut rapat kalau masih nggak disiplin."

"Baik, Kak. Terima kasih dan sekali lagi, saya mohon maaf." Kalani kembali membungkuk sekilas. Kemudian segera menuju satu-satunya bangku kosong di sebelah Rara.

Begitu Kalani mengenyakkan diri, Awan segera memulai rapat. Kalani bersyukur tidak mendapat sangsi kali ini. Dia harus mengingat untuk datang tepat waktu. Jika perlu, sebelum anggota yang lain tiba, Kalani sudah berada di tempat.

Kalani tahu jika dirinya bersalah karena terlambat. Namun dia tidak suka dengan cara Awan menegurnya. Baginya, selalu ada cara lain untuk menegur seseorang yang melanggar peraturan tanpa membuatnya merasa malu.

Anggaplah Kalani kekanakan karena kurang suka ditegur atas kesalahan yang memang dia lakukan. Namun dia memegang prinsip, setiap orang memiliki cara tersendiri dalam menerima segala sesuatu. Termasuk terguran, kritik, dan saran.

Dua puluh menita rapat, Sekbid 4 memaparkan konsep acara yang mereka buat untuk pekan seni SMA Sarasvati yang akan datang. Sepanjang presentasi, Kalani hanya memerhatikan sambil mencatat hal-hal yang dia rasa penting untuk divisinya.

Cewek itu bahkan sempat menguap diam-diam karena merasa bosan. Kemudian merasakan kakinya disenggol oleh Rara yang duduk di sebelahnya. Kalani menoleh pada cewek berkacamata tersebut dan bertanya melalui gerakan alis.

ADMIRER (SELESAI) Where stories live. Discover now