14. TERLALU DEKAT

111 30 39
                                    

Satu jam berlalu saat Kalani terbangun dari tidurnya. Dia menegakkan punggung dan menutup mulutnya saat menguap lebar. Saat meregangkan tubuh, Kalani menyadari sesuatu menyelubungi tubuhnya. Dia keheranan mendapati sebuah jaket denim berukuran cukup besar tersampir di bahunya.

"Ini sejak kapan, ya?" gumamnya seraya mengambil jaket tersebut.

Kalani membentangkannya di depan wajah. Jaket tersebut bergaya vintage dengan warna biru dan efek pudar. Tidak ada patch atau emblem tambahan yang kerap menghiasi jaket sejenis.

Saat Kalani mendekatkan hidungnya, dia mencium aroma segar citrus yang berpadu dengan kayu-kayuan dan rempah. Jika Kalani tak salah ingat, aroma ini mirip dengan wewangian yang dia hirup saat Baskara mengangkat tubuhnya setelah terjatuh dari tangga.

Tunggu! Ini bukannya jaket Kak Baskara? batin Kalani.

Dia mengamati jaket tersebut sekali lagi. Benar. Ini memang jaket milik cowok berlesung pipi itu. Baskara sering mengenakannya setiap ke sekolah. Bahkan menurut Kalani, benda tersebut sangat identik dengan Baskara.

Berarti, tadi Kak Ibas ke sini? Terus dia lihat aku tidur? Terus dia selimutin gitu? pikir Kalani.

Tiba-tiba saja pipinya terasa panas. Kalani bertanya-tanya bagaimana wajahnya ketika tidur. Apakah mulutnya terbuka? Apakah dia mendengkur? Atau air liurnya menetes? Ya Tuhan. Sungguh bukan pose yang bagus untuk dilihat cowok populer di sekolah ini.

Kalani menggeleng cepat. Dia tidak merasakan ujung bibirnya basah saat bangun. Artinya tidak ada air liur. Dia juga tidak merasakan mulutnya kering. Yang berarti Kalani tidur dalam keadaan mulut tertutup. Namun, jika masalah mendengkur, Kalani ragu dia tidak melakukan itu.

Dari semua kemungkinan itu, lepas dari bagaimana dirinya ketika tertidur, Kalani menyadari satu hal : Baskara peduli kepadanya. Hal itu membuat perasaan Kalani menghangat saat memikirkannya.

Cewek itu melihat ke arah kursi yang biasa ditempati Baskara. Ransel cowok itu sudah tidak ada di sana. Padahal sebelumnya, semua anggota OSIS menyimpan barang mereka di ruangan tersebut. Mungkin karena hari semakin sore, banyak yang mulai mengambil barang mereka untuk segera pulang.

Tanpa menunggu lama, Kalani segera mematikan laptop dan mengemas barang-barangnya. Dia ingin segera bertemu dengan Baskara. Mengembalikan jaket tersebut dan mengucapkan terima kasih.

Sekolah belum juga sepi meski hari telah sore. Wajar saja, Pekan Seni sudah semakin dekat. Beberapa kelas masih terlihat sibuk karena ruangan mereka akan dimanfaatkan sebagai kafe atau workshop kerajinan tangan.

Sementara di halaman sekolah telah berdiri tenda booth milik sponsor, panitia, tenda penonton khusus, hingga panggung yang menjadi pusat perhatian. Panggung tersebut sudah hampir siap. Dekorasinya menggabungkan unsur etnik dan futuristik.

Saat melewati koridor di belakang tenda panitia, seseorang menyerukan nama Kalani. Rupanya Rara yang sedang bersama Justin. Kedua teman satu timnya tersebut sedang beristirahat seraya menyantap gorengan yang mereka beli dari kantin.

"Dih, enak banget pada nongkrong di sini makan gorengan," cibir Kalani saat bergabung dengan mereka.

"Enak mana sama yang tidur di ruang OSIS sementara yang lain pada riweuh?" sahut Justin sebelum menggigit tempe mendoannya.

"Kecapekan, Justin. Kamu kan tahu akhir-akhir ini kita sering pulang telat. Kalau nggak pas magrib, ya malam," kilah Kalani. Dia ikut mencomot sepotong tapai goreng dari piring teman-temannya.

"Meja aman, nggak? Khawatir besoknya ada bekas becek-becek apa gitu," ujar Rara.

"Rara. Jangan ngomongin hal jorok, ah. Orang lagi makan juga," tegur Justin.

ADMIRER (SELESAI) Where stories live. Discover now