21 | rbc adalah hukuman

Magsimula sa umpisa
                                    

Iren menaikkan bahu. Dinyalakannya ponsel tersebut, tetapi benar kata ayah mertuanya, tak ada sinyal di tempat itu. Iren menghela napas dan melempar ponselnya ke tempat tidur.

"Malesin banget deh! Terus di sini mau ngapain? Mau jadi batu sebulan?" Iren mengerang frustrasi sambil mengacak rambut.

"Udah telanjur di sini, jalanin aja," komentar Dikta.

Tatapan tajam Iren langsung menusuk Dikta. "Ini semua gara-gara kamu! Harusnya kita nggak perlu ke sini! Buat apa coba? Kita ninggalin Una sebulan, Dikta!"

"Bukannya kamu udah pernah ninggalin Una sebulan?"

Seketika raut wajah Iren memias. Ucapan Dikta barusan benar-benar membuatnya dibungkam masa lalu.

"Aku nggak ninggalin Una," gumam Iren. "Kamu nggak akan pernah ngerti."

"Gimana aku bisa ngerti kalau kamu nggak pernah cerita? Kamu menghilang gitu aja. Andai waktu itu nggak ada Una, ya silakan kalau kamu mau pergi ke mana aja. Aku nggak akan cari. Tapi kan udah ada Una, dia baru beberapa bulan waktu kamu pergi dari rumah, Una masih butuh kamu banget."

Iren tertawa lirih.

"Kamu juga nggak ada waktu aku hamil Una, padahal aku juga butuh kamu."

Dikta telah membuatnya mengingat masa-masa itu, masa ketika ia memilih meninggalkan rumah dan kembali ke apartemennya dua bulan setelah melahirkan Una.

"Jadi ini semacam balas dendam?"

"Kamu pikir aku sejahat itu buat jadiin Una objek balas dendam?" Iren membuang muka, tiba-tiba kedua matanya memanas. "Kamu selalu aja gitu, apa-apa aku yang disalahin. Padahal, semua nggak bakal serumit ini andai kamu nggak bikin aku hamil."

Disekanya air mata yang perlahan jatuh di pipi. Iren menelan ludah pahit. Ia kecewa, entah pada siapa.

"Aku nyesel pernah kenal kamu."

Andai bisa, Iren ingin kembali ke masa lalu dan menghapus kehadiran Dikta di sana. Kalau bisa, Iren tak ingin orang tuanya sedekat itu dengan orang tua Dikta agar mereka tak dijodohkan.

"Aku nyesel pernah setuju dijodohkan sama kamu," gumam Iren yang kemudian terisak pedih, tubuhnya meluruh dan terduduk di lantai papan tersebut. Wajahnya yang penuh air mata kini tertelungkup di atas lutut.

Dikta mengacak rambutnya kasar melihat Iren menangis.

Sekitar setengah jam Iren berada dalam posisi menyedihkan yang hanya terus terisak dan meratapi nasibnya yang entah akan seperti apa nanti.

Lagi-lagi Iren tertawa getir, apa tangisnya kurang menyedihkan untuk bisa membuat Dikta tahu bahwa dia terluka? Haruskah Iren menceritakannya lebih dulu agar pria itu mengerti, seperti yang Dikta katakan tadi?

Tak ada kata maaf atau keluar kalimat yang mungkin bisa membuat Iren tenang. Pria itu hanya berlalu membawa handuk dan pakaian bersih menuju toilet di luar. Iren semakin tergugu kala menyadari bahwa Dikta benar-benar tak peduli padanya.

Lantai beralas papan itu berbunyi kala Dikta selesai mandi. Pakaiannya sudah berganti naru

"Masih nangis?" Dikta bertanya santai sambil terus menggosok rambutnya.

Perlahan, Iren mengangkat kepala.

"Mata kamu tambah bengkak tuh," ucap Dikta yang kemudian mengulurkan tangan kepada istrinya. "Ayo bangun."

Uluran tangannya tak kunjung disambut oleh Iren, malah menggantung begitu saja di udara. Baik, Dikta tahu Iren marah.

"Ya udah." Dikta memilih menyelipkan tangannya ke saku celana. Namun, Dikta masih berdiri di depan Iren.

Berpisah Itu Mudah (Tamat)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon