Bab 35

122 19 0
                                    

Naruto tersenyum kaku. "Kalau begitu kunjungi dia di alam baka," kata-katanya dingin dan tenang.

Alice yang mendengar itu hampir bertepuk tangan. Dalam hatinya, ia mengacungkan ibu jari atas jawaban Naruto.

Wajah Aro sedikit mengeruh. Sudah lama sekali orang berani menyumpahinya.

"Jangan berpikir aku menyumpahikalian," Naruto mengangkat suara lagi setelah merasakan ketegangan di udara menaik, "Guruku memang sudah tiada dan mayatnya masih belum ditemukan. Dia dibunuh saudara seperguruanku."

Well, dirinya tak berbohong kalau si Pertapa Mesum, memang benar-benar sudah tiada, 'kan???

Hati Naruto bersih untuk itu!!!

Wajah Kurama yang menggelap, kini terlihat jenih. Seringai mampir di bibir Kurama. "Kalian pikir kenapa kami ditemukan terluka oleh Carlisle?"

Mendengar penjelasan itu, Aro dan dua lainnya hanya bisa menerimanya. Apa lagi yang bisa mereka lakukan?

Aro mengambil napasnya. Ia menatap Carlisle. "Saudaraku, kau benar-benar menemukan berlian." Dia beralih pada Edward. Matanya penuh kasih sayang. "Oh, sayangku, Edward, apa kamu yakin tak ingin bergabung dengan kami?" Aro bertanya pada Edward dengan sikap penuh harap. "Bakatmu akan menjadi tambahan yang sangat baik untuk kelompok kecil kami."

Edward melirik Carlisle. Dari sudut matanya juga terlihat Felix dan Jane meringis. Edward menggeleng "Kurasa tidak."

"Alice?" tanya Aro, masih berharap. "Mungkin kau tertarik bergabung dengan kami?"

"Tidak, terima kasih," jawab Alice langsung.

"Dan kalian, Naru, Kurama?" Aro mengangkat alisnya. Edward mendesis, rendah. Sementara Marcus menatap Naruto dan Kurama dengan penuh harap.

Naruto ragu-ragu. Dia jelas ingin menyapa sang kakek. "Aku..." tangan Edward yang merangkulnya, meremas pinggul Naruto, seolah dirinya takut kalau gadisnya akan pergi.

"Kurasa.. tidak, maafkan aku," ujar Naruto.

"Tidak bisa," Caius membalas datar, "kau dan Kurama tahu sangat banyak tentang ekstensi kita. Ditambah lagi, kalian keturunan Marcus. Kalian sudah seharusnya di sini."

"Di sini juga ada beberapa manusia dalam sandiwara kalian," Edward mengingatkan Caius yang juga membawa ingatan Naruto pada penerima tamu yang cantik di bawah.

Wajah Caius terpilin membentuk ekspresi baru. Apakah itu dimaksudkan sebagai senyuman?

"Benar," ia sependapat. "Tapi, kalau mereka sudah tidak kami butuhkan lagi, mereka akan
menjadi pemuas dahaga kami. Tapi, Naru, jelas tidak bisa dan kau pun tak boleh membunuhnya."

Mata Caius tersenyum. "Kau juga tidak bisa menjadikanmereka salah dua dari kita," lanjut Caius. "Dengan begitu, mereka ancaman bagi eksistensi kita. Meski ini benar, dalam hal ini mereka bisa tinggal bersama kami. Tentu saja kamu juga bisa dengan hubungan kalian atau kau boleh pergi kalau memang mau."

Edward menyeringai, menunjukkan gigi-giginya. Carlisle mengepalkan tangan, tapi dia tahu dirinya belum berhak bicara.

"Sudah kukira," kata Caius, dengan ekspresi menyerupai kegembiraan. Felix mencondongkan tubuh, bersemangat.

Naruto mengintip wajah Aro yang jelas senang saja tak berniat untuk menyela. Dia menatap Kurama yang juga menatapnya.

"Aku dan Naru akan tinggal," Kurama menyela. Edward melotot, hampir saja menerjang Kurama jika tak ditahan Naruto.

"Hanya beberapa hari dan jika kami ingin, kami bisa pulang." Kurama melanjutkan seolah dirinya tak merasakan panas dari mata Cullen. "Kalian bisa menilai apakah kami bisa dipercaya atau tidak. Lagipula..." mata Kurama menatap Carlisle, "Edward adalah mate Naru."

My Kunoichi: Our Love and StoryWhere stories live. Discover now