Halaman kedua puluh satu🍂; Sisa tinta terakhir

42.1K 6.3K 801
                                    

Happy Reading!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Happy Reading!


Sebenarnya kalau dikatakan ingin menyerah, Hanan memang benar-benar menginginkan itu ketika bunda tak kunjung membalas pesannya hingga saat ini. Saat dimana tisu penuh darah dari mulut mulai memenuhi kasur dan lantai miliknya. Pemuda itu tak kunjung bisa menghentikan batuk-batuk hebat yang membuat darah semakin banyak keluar tanpa bisa ia kontrol.

Hanan juga hampir kehabisan tenaga, tubuhnya ambruk tepat dimana pintu kamar dibuka secara kasar dari arah luar oleh seseorang yang bukan Hanan harapkan kedatangannya. Bi Ama, perempuan paruh baya itu lebih dulu datang dari sang bunda, padahal yang Hanan harapkan sekarang adalah bunda.

"Astagfirullah.. Hanan.." suara lembut sekaligus terdengar khawatir itu langsung menyapa telinga Hanan.

Dengan tergesa bi Ama membantu tubuh Hanan untuk kembali duduk dan bersandar pada bantal di atas kasur. Melihat begitu banyaknya darah berserakan, perempuan itu langsung membersihkan beberapa lembar tisu yang tergeletak di sembarang tempat.

"Bi.." suara bergetar dan tidak bertenaga itu seketika membuat langkah bi Ama berhenti, "Mau minum.."

Sembari menahan air mata, bi Ama mengangguk tanpa berani menoleh dan membalas tatapan Hanan. Sakit, terlalu menyakitkan melihat keadaan Hanan sekarang, ia tidak sanggup. Mulut dan telapak tangannya dipenuhi bercak kemerahan sisa darah tadi.

"Tunggu sebentar ya, bibi ambilkan dulu air hangat nya."

Tidak ada respon, Hanan sibuk merasakan nyeri yang semakin menjadi, dadanya seperti dihujani ribuan pisau ketika batuk atau bahkan saat bernapas. Beberapa menit lalu juga Hanan sempat memaksakan diri berjalan dan keluar dari kamar untuk mengambil segelas air hangat di dapur, namun lagi-lagi tubuhnya tidak menerima itu, Hanan terlalu sibuk terbatuk dan menahan sakit.

Sampai akhirnya bi Ama datang pukul 03:25, saat dimana Hanan sudah mulai pasrah dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Sesekali Hanan memukul keras bagian yang dirasa sakit, sampai dimana tangan itu di tahan oleh seseorang yang kini langsung menarik tubuhnya kedalam dekapan. Jujur Hanan sempat tersentak ketika mendapatkan pelukan tiba-tiba, tapi di detik berikutnya Hanan malah menangis ketika sadar siapa sosok yang sudah membuatnya terkejut itu.

Bunda, perempuan paruh baya yang kini masih berpenampilan kacau tanpa aba-aba langsung membawa Hanan kedalam dekapan. Suara isak tangis dari mulutnya begitu terdengar jelas di telinga Hanan, dan demi apapun sakit, lebih sakit mendengar rintihan tangis dari mulut bunda dari pada rasa sakit di fisiknya sendiri.

"Bun.. Hanan ngga pa-pa." sembari menepuk kecil punggung Nindy, Hanan sebisa mungkin menahan tangis meski air mata sudah memenuhi pelupuk matanya.

Dalam tangisan yang begitu hebat Nindy menggeleng cepat, ia peluk daksa Hanan lebih erat dari sebelumnya, "Maafin bunda, sayang.. Maaf.."

Tinta Terakhir ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang