Halaman kesepuluh🍂; Kamu masih punya abang sebagai rumah.

54.7K 8K 571
                                    

SEBELUMNYA AKU MAU MENGINGATKAN UNTUK TIDAK MEMBAWA-BAWA CERITA LAIN KE CERITA INI

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SEBELUMNYA AKU MAU MENGINGATKAN UNTUK TIDAK MEMBAWA-BAWA CERITA LAIN KE CERITA INI. JADI TOLONG BANGET HARGAI AKU SEBAGAI PENULIS YA. TERIMAKASIH.

.

Happy Reading!

“Saya pingin banget peluk Hanan kemarin, tapi keadaannya ngga memungkinkan. Baju saya kotor, lusuh, bau, dan lagi masih di lingkungan sekolah. Saya takut Hanan malu nanti.”

Sekiranya begitu penuturan Wisnu setelah beberapa menit lalu dia  selesai membersihkan tubuhnya. Sorot mata kosong yang diarahkan ke arah depan, menjadi cara Wisnu untuk kembali mengingat kejadian setengah jam yang lalu saat ia bertemu dengan sang adik di samping gerbang sekolah SMA 2.

Cara Hanan menatapnya dengan tatapan sayu, cara bibir pucatnya tersenyum, dan cara bicaranya yang terdengar pelan, membuat hati Wisnu semakin dilanda kegelisahan. Jujur, sore tadi warna kulit Hanan benar-benar terlihat pucat, ketika Wisnu menatap eksistensinya di bawah pohon sembari menggunakan helmet, tidak tahu apa yang salah, tapi di situ Wisnu bisa melihat kalau Hanan sempat meringis sembari menggelengkan kepalanya beberapa kali.

Dan melihat Wisnu melamun seperti itu, Bian yang kebetulan duduk tepat di samping nya hanya bisa menghembuskan napas panjang setelah tangannya untuk kedua kali menyodorkan sepiring mendoan hangat hasil ia bereksperimen dengan Aji.

“Mendoan nya di makan dulu bang, nanti keburu dingin.” kemudian kembali ia taruh di atas meja, membiarkan Wisnu mengambil itu dengan sendirinya.

“Tapi menurut ku, bang Hanan bukan tipe orang yang begitu, apa lagi abang ini kakaknya. Peluk aja, bang, rengkuh dia, udah lama bang Hanan ngga pernah ngerasain itu lagi dari abang, kan?”

Mendengar penuturan Bian, Wisnu mengangguk singkat, masih enggan untuk mengalihkan pandangannya dari arah depan.

“Belasan tahun ngga ketemu bikin saya takut kalau Hanan ngerasa canggung waktu dekat saya, Bian.” alun-alun Wisnu menoleh, ia tatap manik Bian sembari tersenyum kecil, lantas tangannya bergerak mencomot satu mendoan hangat yang sempat ia anggurkan beberapa kali.


“Kamu yang bikin?”

Bian nampak sumringah ketika Wisnu mencicipi mendoan hasil eksperimen nya dengan Aji beberapa menit lalu sembari menunggu Wisnu selesai mandi. Dengan anggukan kecil yang ia berikan, lantas setelahnya Bian tersenyum singkat.

“Iya, bareng Aji juga.”

“Aji walaupun begitu, dia bisa diandalkan, bisa disuruh cuci piring, ambilin tempe, cuci bawang daun, dan lain sebagainya, hahhaha.” lanjut Bian tanpa sadar kalau Aji kini sudah berada tepat di belakangnya.

Tinta Terakhir ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang